Mohon tunggu...
Sri Patmi
Sri Patmi Mohon Tunggu... Penulis - Bagian Dari Sebuah Kehidupan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis adalah Bagian dari Self Therapy www.sripatmi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Artikel Sri Patmi: Satire Penggebrak Kebutaan Dunia dari Lamellong

10 Januari 2021   14:02 Diperbarui: 10 Januari 2021   14:06 1040
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Dokumentasi Pribadi

Dengan segala kearifan budayanya, Indonesia mampu mempertahankan sejarah melalui sebuah cerita rakyat (folklore). Cerita rakyat merupakan bentuk sastra lisan yang diwariskan secara turun temurun. 

Cerita rakyat terus berkembang ditengah modernisasi dan perubahan zaman menuju abad masyarakat informasi yang sangat mengedepankan fakta dan bukti empiris untuk dijadikan sebuah hal yang bisa disebarluaskan. 

Dua hal yang berbeda tetapi saling hidup berdampingan. Cerita rakyat hidup menjadi identitas dan kemajemukan Bangsa Indonesia melalui kearifan lokal (local wisdom). 

Kearifan lokal yang terkandung didalam cerita rakyat dapat dikatakan sebagai produk budaya yang berwujud dan tidak berwujud. Melalui kearifan lokal, diharapkan manusia dapat meningkatkan kualitas hidupnya dan berkelanjutan untuk memuliakan kehidupan. 

Kearifan lokal merupakan nilai-nilai luhur yang terkait dengan nilai-nilai Ketuhanan dalam masyarakat perlu kiranya direvitalisasi untuk membentengi diri dari pengaruh budaya global yang cenderung bersifat materilialistis. Inilah bukti nyata bahwa identitas bangsa ini adalah multikulturalisme dan pluralistik. 

Salah satu cerita rakyat yang menjadi warisan budaya dan mengandung nilai moral yang tinggi dan tepat untuk menggambarkan kehidupan masyarakat global saat ini adalah Kisah Lamellong atau Kajao Laliddong dari Bone, Sulawesi Selatan.  

Alkisah Lamellong Kajao Laliddong dan 100 orang buta 

La Mellong merupakan Penasehat Raja Bone ke-6 dan Raja Bone ke-7. Ia dikenal karena kebijaksanaan dan kecerdasannya. Suatu hari, ia dipanggil oleh Raja Bone untuk menerima mandat pekerjaan yang mustahil untuk dilaksanakan.   

Raja Bone: "Wahai Lamellong tahu kah engkau apa gerangan  saya memanggilmu menghadap saya di istana?"  (Oh.... Lamellong, muisseng mua ga aganwollirekki  lao ko mai ?)

Lamellong : "Maaf Baginda, tidak ada pengetahuan saya, tentang apa tujuan saya dipanggil" (Iyee taddapnegang ata'na petta, degaga padissengekku puang aga diollirangga ?)

Raja Bone : "Ada pakerjaaan yang akan kuberikan kepadamu Lamellong" (engka jamang maelo walakko lamellong )

Lamellong : "Pekerjaan apakah yang hendak hamba lakukan tuanku ?" (Agaro jamang maelo ta ssuroang puang ?)

Raja Bone : "Carikan saya 100 orang buta dalam semalam di satu kampung" (melokka di sappareng tau uta 100 tau ri lalenna siweniie ri seddie kampong )

Lamellong : "Iya Baginda Raja" (Iye puang)  

Dengan terperangah Lamellong pulang ke rumahnya merenung. Ia memikirkan tugas yang diberikan oleh Baginda Raja. Dengan segala kecerdasan dan kecerdikannya, pada malam itu ia mengambil sebatang pohon bambu tanpa dibersihkan daunnya. 

Keesokan paginya, ia mengarak bambu itu keliling kampung. Tentunya hal ini mengundang tanya dan sotak seluruh warga bertanya dengan penuh keheranan dengan apa yang dilakukan oleh Lamellong. Lamellong hanya menjawab untuk mengikutinya. Sontak orang-orang yang penasaran mengikuti Lamellong.

Warga yang ditemui : "Wahai lamellong apakah gerangan yang kau arak itu?" ( o lamellong aga tu mbo murenreng?)

Lamellong : "Wahai tuanku hamba menghadap untuk menepati per mintaan tuanku 100 orang buta " (Ee puang engkana mangolo di idi tiwirekki taillaue 100 tau uta )

Raja Bone : "Yang manakah orang - orang itu lamellong ?" (tegai lamellong taunna? )

Lamellong : "Inilah semua nya tuanku" (iya manenna taunna puang)  Seraya memanggil semua orang yang bertanya sebanayk seratus orang menghadap ke raja 

Raja Bone : "Sungguh kurang ajar dirimu Lamellong kau bilang orang buta ternyata semuanya melihat" (pare- are mettoko iko lamellong .... muasengakka tau uta na makkita maneng). 

Sang raja pun memeriksa orang -orang itu dengan geramnya sang raja pun memarahi Lamellong

Lamellong : "Begini tuanku...jelas-jelas saya mengarak sebatang bambu di siang bolong mereka masih bertanya "apakah gerangan yang kau arak itu Lamellong?" jadi saya menganggap mereka  buta, Yang Mulia".  (pakkoe puang...manessa awo u renreng ri tangassoe na pada makkutana maneng'i agatu murenreng lamellong? jadi waseng'i tau uta na manessa urenreng'e awo ). 

Raja Bone : "Sungguh pintar dan cerdik dirimu lamellong" (macca memekko iko lamellong)

Atas segala kecerdikan dan kecerdasannya, Lamellong juga disebut sebagai Abu Nawasnya Orang Bugis. 

Dari dialog dan sepenggal cerita rakyat Bugis ini, kita dapat mengambil benang merah yang tersembunyi dan lebih mengenal jauh tentang karakteristik serta perilaku sosial masyarakat. 

Cerita ringan sarat makna ini justru menunjukkan sisi lain kehidupan manusia yang selama ini tidak pernah disadari. Bahkan telah beranak pinak hingga sekarang, diitambah lagi dengan pesatnya perkembangan teknologi. Sisi lain ini dimaknai dengan berbagai aspek teori. 

Tinjauan Nilai Keluhuran Moral dalam kisah Lamellong dan 100 orang buta

1. Perspektif Komunikasi (Aristotelian) 

Dari kisah tersebut diatas, sudut pandang pertama yang dilihat adalah teori retorika Aristoteles. Tiga konsep ethos, logos dan pathos. Ethos berarti kredibilitas oleh si pembicara atau pemimpin. 

Dalam hal ini, seberapa besar pengaruh Lamellong untuk mengajak orang lain mengikutinya. Dalam sebuah sejarah yang sudah diketahui, Lamellong adalah seorang diplomat, penasehat raja, ahli tata negara dengan hasil produk Pangngadereng,  yang memiliki intisari norma Ade (pranata sosial yang memuat aturan kehidupan masyarakat), Bicara (aturan peradilan dalam arti luas), Rapang (aturan dengan menerapkan keputusan terdahulu adat dari negeri tetangga), Wari (sistem yang mengatur batas kewenangan dalam masyarakat). 

Jadi, ketika ia berbuat, berbicara dan bertindak, ia akan memberi pengaruh besar terhadap publik. Logos yang berarti logika, argumentasi dan alasan yang berbobot yang dapat diterima oleh banyak pihak. 

Dalam kisah ini, warga yang terpengaruh mendapatkan alasan berupa rasa penasaran dan tanya atas suatu objek benda berupa bambu. Pathos yaitu ekspoitasi dari emosi/perasaan pihak lain dengan memanfaatkan berbagai "modal" misalnya  "personal branding" dan penampilan yang tepat dan menarik (seperti para selebriti dunia hiburan), kepiawaian berbicara dimuka publik, gerakan tubuh dan mimik muja, dan cara lain yang positif. 

Cerdiknya seorang Lamellong adalah membangkitkan alam bawah sadar agar tergugah dengan rasa penasaran. 

Ethos dan logos dapat dipahami dengan logika terbalik seperti ini ; jika saat itu yang mengarak bambu adalah warga biasa tanpa argumentasi dan pengaruh besar dari konsep dirinya, apakah warga lain, termasuk Lamellong sendiri yang melihat itu akan mengikuti? Pasti dianggap seperti orang sinting! 

2. Teori Semiotika Rolland Barthes

Jika dalam pembahasan sebelumnya dalam https://www.kompasiana.com/sripatmi/5ff9216a8ede487e6b783372/artikel-sri-patmi, konsep teori semiotika Ferdinand De Saussure, maka Barthes lebih kompleks menambahkan unsur penanda, petanda, denotasi, konotasi + metalanguage (mitos). Penanda yang dibawa Lamellong adalah bambu. 

Petanda yang ditunjukkan lebih dalam adalah rumpun kebersatuan yang diwujudkan melalui kokohnya yang dinamis dan lentur, di negeri China, filosofi tanaman bambu dianggap sebagai bentuk rumput yang kuat, kokoh, dinamis. 

Tak heran negeri itu disebut Negeri Tirai Bambu karena tingginya penghormatan terhadap keteguhan dan ketulusan. Sayangnya, negeri ini sudah banyak ditumbuhi pagar beton besi serta asap pabrik yang mengepul tinggi. 

Di Jepang, setelah kota Hiroshima & Nagasaki dibom oleh Sekutu, bambu adalah pohon yang pertama kali tumbuh di wilayah itu. Itulah sebabnya bambu menjadi bagian dari budaya dan menopang kebutuhan hidup masyarakat Jepang. 

Secara denotatif, bambu adalah jenis ordo rumput yang liar dan tinggi. Secara konotatif, sebagian masyarakat Jawa mengadopsi ngelmu pring "Menungsa podo eling yen tekan titi wancine bakal digotong anggo pring, bali neng ngisor lemah podo ngisor oyot pring..." yang berarti apabila manusia sudah sampai waktunya (dalam hal ini mati) juga akan diusung dengan keranda yang terbuat dari bambu menuju ke tempat peristirahatan terakhir. 

Metalanguange atau mitosnya adalah Indonesia melawan dan mengusir penjajah dengan bambu runcing, diikat dengan bhineka tunggal ika di Kitab Sutasumo Mpu Tantular. 

Setengah mitos disampaikan oleh A.H Nasution, alam Bisikan Nurani Seorang Jenderal, "di minggu-minggu pertama merdeka maka rakyat dengan bambu runcing seakan-akan pagar betis menjadi kekuatan untuk memaksa pejabat di kantor, lingkungan, pabrik, dan lain-lain agar taat kepada RI. Tapi, pada pertempuran real, bambu runcing itu lebih banyak jadi senjata semangat." . 

Bambu runcing juga dikembangkan oleh Jepang dengan sebutan Takeyari, digunakan sebagai senjata untuk menghadang pasukan payung musuh yang diterjunkan dari udara. 

Apa Hubungannya dengan Perilaku Generasi Masa Kini?

Revolusi sistem Teknologi, Informasi dan Komunikasi sudah pesat, tetapi tidak diimbangi dengan perilaku masyarakat masa kini. Adanya teknologi malah seakan menjadi Tuhan yang digandrungi. 

Terima informasi, ingin menjadi pihak pertama yang menyebarkan informasi dan ikut-ikutan tanpa ada landasan yang jelas. Itu kan tindakan konyol namanya! 

Memiliki indra penglihatan, tapi seakan buta. Tidak menggunakan rasa, nurani dan sukmanya dalam melakukan tindakan. Dalam benak saya, apakah benar masyarakat Indonesia sudah bermigrasi menjadi masyarakat informasi? Atau masih terjebak di teori jarum suntik hipodermik? 

Dulu... manusia berbondong-bondong mencari informasi kesana sini melalui media massa TV, radio dll. Sekarang, baru melek mata saja informasi sudah di broadcast di linimasa WA. 

Melek matanya, tapi enggak melek literasinya. Bener nggak begitu? koreksi saya jika itu salah? Pesan benar atau salah, nggak sareh dulu menerimanya. 

Gagal persepsi hingga akhirnya membentuk opini pembodohan publik. Kelihatannya aktif, bergeliat dengan teknologi, kesana sini bawa HP, ngomongin yang lagi trending topic, ikut-ikutan heboh dengan yang lagi viral. Padahal apa isinya? NOL BESAR. KOSONG TANPA ISI. 

Elaborasi dengan cerita rakyat Lamellong ini koheren. Bedanya dengan zaman dulu adalah media penyebaran informasinya saja. Jika dulu menggunakan satu orang yang berpengaruh dan bukan orang sembarangan, sekarang menggunakan teknologi. 

Generasi kita dijejali sesuatu yang belum tentu berfaedah. Kelihatan aktif padahal pasif. Generasinya cenderung seperti disuntik mati oleh informasi (euthanasia), tanpa melakukan validasi melihat kebermanfaatan untuk diri. 

Jadi, saya sebagai generasi masa kini, jika bertemu dengan Sosok Lamellong akan mengucapkan banyak terima kasih dan memberikan penghormatan kepada beliau atas Satire yang menyadarkan generasi yang katanya melek teknologi, melek informasi, tapi buta terhadap konsep diri yang sesungguhnya, bahkan lupa jalan pulang kepada Tuhan. Terima kasih atas pesan moral yang dibungkus begitu epic dalam cerita rakyat yang melegenda dari masa ke masa. 

Salam, 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun