Transformasi digital telah menjadi arah global dalam meningkatkan efektivitas tata kelola pemerintahan.Â
Di Indonesia, desakan untuk mengadopsi kepemimpinan digital tidak lagi bersifat opsional, melainkan merupakan kebutuhan strategis. Pemerintah pusat melalui berbagai inisiatif seperti SPBE (Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik) dan agenda Transformasi Digital Nasional 2025 mendorong digitalisasi lintas sektor. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kesiapan pemerintah daerah dalam menerapkan kepemimpinan digital masih jauh dari merata. Permasalahan ini bersumber dari kompleksitas struktural, lemahnya infrastruktur, dan resistensi kultural terhadap perubahan.
Pertama-tama, kesiapan pemerintah daerah sangat ditentukan oleh kualitas kepemimpinan yang mampu memahami, merancang, dan mengeksekusi transformasi digital. Kepemimpinan digital bukan sekadar kemampuan menggunakan perangkat teknologi, melainkan mencakup visi transformatif, pengambilan keputusan berbasis data, serta keberanian mengubah pola kerja birokrasi yang konvensional. Sayangnya, tidak semua kepala daerah memiliki kapasitas tersebut. Banyak yang masih mengedepankan pola kepemimpinan transaksional yang pragmatis, bahkan populistik, tanpa pendekatan sistemik dalam membangun digitalisasi pelayanan publik.
Kedua, faktor infrastruktur digital menjadi hambatan nyata yang bersifat teknis sekaligus politis. Ketimpangan akses internet antara daerah perkotaan dan pedesaan, terutama di Indonesia Timur, mencerminkan kesenjangan pembangunan infrastruktur dasar yang belum tertutupi. Padahal, digitalisasi tidak bisa berjalan optimal tanpa dukungan jaringan data yang stabil, perangkat lunak yang kompatibel, serta sumber daya teknologi yang mumpuni. Ini memperlihatkan bahwa kesiapan digital pemerintah daerah bukan hanya soal kesiapan internal institusi, tetapi juga terkait erat dengan peran negara dalam mendistribusikan infrastruktur secara adil.
Ketiga, sumber daya manusia aparatur sipil negara (ASN) masih menjadi titik lemah yang menghambat implementasi kepemimpinan digital. Banyak ASN belum memiliki kompetensi digital dasar, apalagi kecakapan dalam menerjemahkan visi digital kepala daerah ke dalam tindakan administratif. Minimnya pelatihan berbasis kebutuhan dan lambatnya proses reskilling menyebabkan program digitalisasi hanya berjalan di permukaan. Dalam banyak kasus, aplikasi digital justru hanya mengganti format kertas ke elektronik tanpa perubahan mendasar pada alur birokrasi atau kecepatan pelayanan.
Keempat, budaya birokrasi yang resistif terhadap perubahan menjadi tantangan struktural yang sulit ditembus. Sebagian besar organisasi pemerintah daerah masih menempatkan hierarki sebagai kekuatan utama dalam pengambilan keputusan, bukan inovasi. Budaya kerja semacam ini bertolak belakang dengan prinsip dasar digital leadership yang menekankan keterbukaan informasi, fleksibilitas, dan kolaborasi lintas sektor. Tanpa upaya pembongkaran terhadap budaya kerja lama, kepemimpinan digital akan selalu tereduksi menjadi slogan tanpa substansi.
Kelima, dari perspektif kebijakan, belum semua daerah memiliki peta jalan (roadmap) transformasi digital yang komprehensif. Sebagian besar hanya mengikuti arahan pusat tanpa adaptasi kontekstual terhadap tantangan lokal. Padahal, setiap daerah memiliki karakteristik sosial, ekonomi, dan geografis yang unik, sehingga strategi digitalisasi tidak bisa bersifat generik. Kurangnya sinergi antara pusat dan daerah dalam menyusun kebijakan digital menimbulkan kesenjangan antara idealitas kebijakan nasional dan realitas implementasi di daerah.
Namun demikian, beberapa daerah telah menunjukkan capaian progresif dalam menerapkan kepemimpinan digital. Provinsi Jawa Barat dengan Jabar Digital Service, misalnya, mampu mengintegrasikan teknologi dalam perencanaan, penganggaran, dan layanan publik. Contoh lain adalah Banyuwangi yang sukses mendigitalisasi layanan perizinan dan administrasi kependudukan. Ini membuktikan bahwa ketika kepemimpinan memiliki visi kuat, didukung kapasitas teknis dan political will yang tinggi, transformasi digital bisa diwujudkan secara signifikan di tingkat lokal.
Untuk itu, strategi ke depan menuntut pendekatan multidimensi. Pertama, penguatan kapasitas kepemimpinan digital kepala daerah harus menjadi agenda prioritas, termasuk melalui seleksi politik yang mempertimbangkan visi digital calon pemimpin. Kedua, perluasan akses dan pemerataan infrastruktur digital harus disertai dengan regulasi afirmatif untuk daerah tertinggal. Ketiga, penguatan kapasitas ASN melalui pelatihan digital berbasis kebutuhan nyata sangat krusial. Keempat, reformasi budaya organisasi melalui insentif inovasi dan manajemen perubahan harus menjadi bagian dari agenda reformasi birokrasi.
Dalam konteks ini, kepemimpinan digital tidak bisa dilihat sebagai program teknis, melainkan sebagai perubahan paradigma dalam mengelola pemerintahan yang adaptif, partisipatif, dan berbasis data. Pemerintah daerah harus mampu menjadi aktor utama dalam membangun ekosistem digital yang tidak hanya efisien, tetapi juga inklusif dan berkelanjutan. Tanpa kepemimpinan digital yang kuat, transformasi pemerintahan akan berjalan lambat dan terfragmentasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI