Mohon tunggu...
Srihartati
Srihartati Mohon Tunggu... Administrasi - Mencari ilmu

Man jadda wa jadda

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Wabah Covid-19 Bukan Alasan untuk Mengorbankan HAM dan Demokrasi

24 Januari 2021   22:32 Diperbarui: 24 Januari 2021   22:41 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mengacu pada Pasal 14 -- 15 Kovenan Sipol beserta penjabarannya dalam General Comment No. 32 tahun 2007, konsep hak atas peradilan yang adil mencakup perlakuan terhadap tersangka/terdakwa pada saat dan sebelum proses persidangan, termasuk diantaranya hak untuk tidak diproses secara hukum tanpa adanya pasal pidana yang dilanggar (Pasal 15 ICCPR) dan hak setiap orang terhadap bantuan hukum (General Comment 32/2007 angka 10). Pemerintah seharusnya konsisten dalam mengadopsi ketentuan ICCPR tidak hanya secara legalistik dalam UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Sipol, namun juga dalam praktik aparat dalam pekerjaannya sehari-hari. Dan dalam hal ini internal Kepolisian juga telah memiliki berbagai peraturan yang mewajibkan Kepolisian untuk menjunjung hak asasi manusia dan taat pada asas-asas fair trial[4].

Hak untuk mendapatkan proses hukum pidana yang adil berdasarkan hukum yang berlaku juga berpotensi untuk kembali dilanggar dengan wacana persiapan TNI untuk antisipasi gejolak sosial akibat Pandemi COVID-19.[5] Selain wacana itu berada di luar tupoksi TNI, intervensi TNI pada aspek pidana harus dihindari. Pemerintah seharusnya memprioritaskan upaya pencegahan agar tidak terjadi gejolak sosial di masyarakat melalui jaminan kebutuhan dasar masyarakat di daerah yang terjangkit COVID-19.

  • Hak atas kebebasan berekspresi

Kemerdekaan berekspresi merupakan salah satu hak yang fundamental yang diakui dalam sebuah negara hukum yang demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Pada saat penanganan CPVID-19 kami mencatat, setelah keluarnya Surat Telegram Kapolri (ST/1100/IV/HUK.7.1.2020), kami mencatat 41 kasus penangkapan terhadap orang-orang yang dituduh menyampaikan penghinaan terhadap pejabat negara atau menyebarkan berita bohong. Hal tersebut menjadi pelanggaran HAM jika dilakukan dalam konteks mengkritik, mempertanyakan dan menyampaikan keluhan mengenai cara-cara pemerintah dalam menangani pandemi.

Ekspresi, dengan segala bentuknya yang disampaikan oleh warga negara untuk menkritik cara-cara pemerintah dalam menangani COVID-19 adalah sah dan dilindungi hukum. Kendati kebebasan berekspresi adalah aspek yang dapat dibatasi, namun pembatasannya perlu dilakukan secara cermat dan terukur oleh negara. Kebebasan berekspresi dan berpendapat merupakan aspek krusial yang aplikasinya harus dilindungi oleh Negara. Hal ini selaras dengan pasal 19 Kovenan Hak Sipol sebagaimana telah diadopsi substansinya dalam pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan turunannya dalam 23 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

  • Hak untuk bebas dari diskriminasi dan stigmatisasi 

Pandemi COVID-19 menghasilkan gelombang stigma dan diskriminasi pada kelompok tertentu, salah satunya tenaga kesehatan. Mereka mendapat stigma negatif dari masyarakat sebagai carrier virus karena pekerjaannya sehari-hari mengandung resiko tinggi untuk terpapar virus. Hal ini terlihat dari peristiwa perawat yang diusir dari tempat tinggalnya,[6] tenaga kesehatan yang ditolak oleh tetangganya,[7] hingga penolakan pemakaman jenazah seorang perawat di Semarang.[8]

Stigmatisasi tersebut lahir akibat penyebaran informasi yang dilakukan pemerintah tidak akurat dan parsial sehingga mengakibatkan publik menerima informasi tidak utuh dan mengambil sikap sendiri yang keliru. Hal ini kembali menegaskan dampak dari pelanggaran ha katas informasi terhadap dimensi hak lainnya,

COVID-19 adalah ujian bagi masyarakat, pemerintah, komunitas, dan individu. Penghormatan terhadap hak asasi manusia di seluruh spektrum, termasuk hak ekonomi, sosial, budaya, dan sipil dan politik, akan menjadi fundamental bagi keberhasilan respons kesehatan masyarakat dan pemulihan dari pandemi. pandemi global COVID-19 tidak boleh dan tidak bisa menjadi alasan bagi setiap negara untuk membuat kebijakan yang bersifat represif dan melanggar hak asasi manusia. Sebaliknya, hal tersebut seharusnya menjadi evaluasi untuk kembali melihat peristiwa COVID-19 sebagai isu kesehatan publik yang berdampak pada isu kesejahteraan sosial. Terlebih lagi, dalam mengeluarkan kebijakan, negara harus berpikir panjang mengenai dampak jangka panjang terhadap kebebasan sipil di masyarakat pasca pandemi usai sebab ancaman yang nyata ialah virus bukan warga negara.

Atas dasar tersebut, KontraS mendesak:

  1. Pemerintah untuk menghormati dan mengedepankan HAM, nilai dan prinsip negara hukum dan demokrasi dalam setiap kebijakan yang keluarkan dan dijalankan dalam penanganan pandemic COVID-19; Pengurangan atau pembatasan penikmatan hak asasi manusia harus dilalukan dengan mengikuti ketentuan instrument hukum nasional dan internasional yang telah diratifikasi pemerintah.
  2. DPR dan lembaga-lembaga independen seperti Komnas HAM harus menjalankan fungsi pengawasan secara aktif. Fungsi parlemen dan lembaga negara independen menjadi penting ketika ada pembatasan hak asasi manusia, guna memastikan tidak ada penyalahgunaan oleh pemerintah.
  3. Prisiden RI tidak menggunakan pendekatan yang represif dan anti kritik dalam penangangan COVID-19. Pemerintah harus menempatkan penanganan COVID-19 sebagai persoalan darurat kesehatan masyarakat; diselesaikan dengan pendekatan kesehatan dan medis, dukungan jaring pengaman sosial yang tepat dan efektif, mudah diakses; penyedian informasi yang tepat, memberikan dukungan dan perlindungan bagi seluruh tenaga medis, memberikan prioritas dukungan fasilitas kesehatan baik bagi rumah sakit maupun masyarakat dalam memerangi COVID-19.
  4. Menteri Kesehatan agar segera mengkoordinasikan program tes COVID-19 secara cepat dan massal baik secara acak maupun berdasarkan tracking terhadap pasien positif COVID-19 agar mendapatkan data yang lebih valid mengenai kondisi jumlah positif COVID-19 di Indonesia.
  5. Kapolri agar memastikan anggotanya mengedepankan upaya-upaya persuasif, proporsioal, tanpa penggunaan kekuatan yang berlebih dalam melakukan pengamanan dalam konteks program pemerintah dalam menangani Pandemi COVID-19 dan apabila harus melakukan pemidanaan harus dilakukan dengan tidak sewenang-wenang dan harus berdasarkan pada aturan yang berlaku.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun