Mohon tunggu...
Srihartati
Srihartati Mohon Tunggu... Administrasi - Mencari ilmu

Man jadda wa jadda

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Wabah Covid-19 Bukan Alasan untuk Mengorbankan HAM dan Demokrasi

24 Januari 2021   22:32 Diperbarui: 24 Januari 2021   22:41 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berkenaan dengan penanganan COVID-19 oleh Pemerintah Indonesia, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) melakukan pemantauan terhadap pemenuhan kewajiban negara dalam memenuhi, melindungi, dan menghargai hak asasi manusia, termasuk penghormatan prinsip demokrasi dalam penanganan COVID-19   Kami memahami pandemi sebagai situasi darurat kesehatan yang berdampak pada persoalan ekonomi dan sosial, namun demikian,  pembatasan, atau tindakan dan kebijakan yang diambil harus proporsional, serta tidak mengorbankan hak asasi manusia dan demokrasi yang dilindungi dan dijamin oleh konstitusi.

Pada situasi pandemi, kami melihat bahwa penanganan COVID-19 menimbulkan dampak yang tidak diinginkan pada situasi dan kondisi hak asasi manusia. Berdasarkan pemantauan kami, sejumlah langkah yang dilakukan oleh negara, baik dari tataran eksekutif sampai aparatur negara tidak menjadikan hak asasi manusia sebagai dasar pertimbangan yang memadai dalam menyusun kebijakan[1] maupun mengambil langkah penindakan di lapangan.[2] Kami mengkhawatirkan kerentanan menjadikan pandemi COVID-19 sebagai alasan untuk memberangus hak asasi manusia dan mengancam demokrasi.

Kami mencatat sejumlah pelanggaran hak asasi manusia selama pandemi COVID-19 (Januari -- April 2020), antara lain sebagai berikut:

  • Hak atas Standar Kesehatan Tertinggi

Pada pertengahan bulan Maret 2020, KontraS melakukan pemantauan melalui pembukaan kanal pengaduan publik terkait kualitas pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan penanganan COVID-19 melalui RS rujukan COVID-19. Dalam pemantauan ini, kami menemukan bahwa berbagai RS rujukan COVID-19 memiliki sejumlah permasalahan seperti akses informasi yang minim, kekurangan tenaga medis, kekurangan sarana dan prasarana penunjang pelayanan kesehatan, dan tidak ada prosedur khusus untuk pasien yang ingin melakukan tes COVID-19. Sementara layanan bagi masyarakat untuk mendapatkan layanan test PCR masih minim karena masih terbatasnya penyelenggaraan dan akses yang tersedia.

Akses terhadap pelayanan kesehatan adalah bagian tidak terpisahkan dari hak asasi manusia secara keseluruhan.[3] Prinsip dasar terhadap pemenuhan hak atas kesehatan berdasarkan General Comment Nomor 14 Tahun 2000 negara wajib memerhatikan ketersediaan, aksesibilitas, penerimaan, dan kualitas atas layanan kesehatan kepada masyarakat. Persiapan dan penanganan yang minim dari negara berdampak  pada tidak terkontrolnya angka penyebaran, penularan, serta penanganan COVID-19 di masyarakat.

  • Hak atas informasi

Dalam konteks penanganan pandemi, informasi yang valid, terpercaya dan terus diperbaharui mengenai situasi pandemi serta penanganannya wajib dipenuhi dan diberikan kepada publik tanpa terkecuali. Hal itu sangat penting karena di tengah ketiadaan vaksin, keselamatan warga tergantung pada informasi tentang upaya pencegahan dan pengendalian prilaku individu. Namun, pada awal penyebaran COVID-19, pemerintah justru melakukan hal yang sebaliknya. Keterlibatan Badan Intelenje Negara (BIN) melalui operasi senyap, penyampaian informasi yang tidak utuh, penyangkalan dan inskonsitensi pernyataan dan informasi para elit politik dan pejabat negara terhadap kerentanan dan penanganan kedaruratan COVID-19 di Indonesia justru memperburuk krisis dan menimbulkan ketidakpastian, ketidakjelasan penanganan krisis.

Hingga Maret, pemerintah terus menutupi dan memonopoli informasi mengenai sebaran daerah merah yang menyulitkan tidak hanya publik tapi juga pemerintah daerah untuk mengambil tindakan pencegahan yang efektif dan memadai. Ketertutupan dan penyangkalan atas informasi, justru telah memberikan sinyal dan arah yang keliru untuk publik, menurunkan kewaspadaan yang bisa berakibat pada perluasan penularan wabah dan memperparah bencana. Sejumlah kasus yang membahayakan kesehatan dan pelanggaran hak asasi yang merupakan dampak dari tidak terpenuhinya hak atas informasi diantaranya prosedur penggunaan disinfektan, penggunaan obat-obatan dan suplemen yang tidak disarankan, pelanggaran privasi hingga praktik diskriminasi seperti penolakan pemakaman jenazah yang terpapar COVID-19.

Hal ini bertolak belakang dengan kewajiban menyampaikan informasi dari sejumlah peraturan seperti pasal 154 Jo. 155 UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa Pemerintah secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi menular dan menyebar dalam waktu singkat, serta Pasal 9 ayat (2) huruf d UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Pasal 19 Undang-Undang nomor 12 tahun 2005 tentang Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, dan Pasal 14 UU 39.1999 tentang Hak Asasi Manusia yang pada intinya merupakan jaminan hak setiap orang untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi.

  • Hak atas fair trial

Dalam kurun waktu 5 Maret- 21 April 2020, kami mencatat terdapat 93 peristiwa penindakan oleh aparat berkaitan dengan ancaman kebebasan sipil selama masa PSBB. Sejumlah peristiwa seperti penangkapan sewenang-wenang (17 kasus), penangkapan dengan tuduhan penghinaan pejabat negara (8 kasus) dan penanganan hoax (41 kasus), problem akses terhadap bantuan hukum pada pendampingan kasus seperti dalam kasus kelompok anarko dan Ravio Patra menunjukkan kesewenangan aparat kepolisian dalam melakukan penegakan hukum.

Pembatasan Sosial Bersekala Besar, yakni khususnya yang terkait dengan pembatasan berkumpul, haruslah mengacu pada aturan perundang-undangan, hal ini jelas bahwa penerapan PSBB suatu wilayah haruslah berdasarkan penetapan dari Menteri Kesehatan berdasarkan permohonan dari Kepala Daerah, sehingga tidak serta merta dengan dalil PSBB yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo, dijadikan alat dan tafsir serampangan oleh aparat keamanan untuk melakukan tindakan pembubaran, mengingat dari data pendokumentasian yang kami lakukan, banyak wilayah yang belum menerapkan status PSBB yang telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan, aparat keamanan dengan tindakan yang sewenang-wenang melakukan aksi-aksi pembubaran, hal ini bertentangan dengan jaminan hak kebebasan berkumpul, dimana hak kebebasan berkumpul dijamin oleh undang-undang dan dapat dibatasi sesuai dengan standar hukum dan HAM. Sehingga sudah sepatutnya aparat penegak hukum dilapangan dan di daerah-daerah harus memahami bahwa pembubaran hak atas berkumpul belum dapat dilakukan sebelum adanya penetapan status PSBB yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan.

Disisi lain kami juga menyoroti tindakan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat keamanan, yang kami nilai tindakan-tindakan tersebut justru bertolak belakang dengan komitmen pemerintah dalam mencegah penyebaran virus COVID-19 di lingkungan penahanan, seperti halnya regulasi yang dikeluarkan oleh kementrian Hukum dan HAM dalam bentuk asimilasi terhadap sejumlah tahanan, sementara kami tidak pernah mendapatkan jawaban informasi terkait regulasi yang dikeluarkan oleh pihak kepolisian dalam mengantisipasi dan mencegah penyebaran virus COVID-19 terhadap para tahanan yang berada dibawah kewenangan institusi kepolisian.

Mengacu pada Pasal 14 -- 15 Kovenan Sipol beserta penjabarannya dalam General Comment No. 32 tahun 2007, konsep hak atas peradilan yang adil mencakup perlakuan terhadap tersangka/terdakwa pada saat dan sebelum proses persidangan, termasuk diantaranya hak untuk tidak diproses secara hukum tanpa adanya pasal pidana yang dilanggar (Pasal 15 ICCPR) dan hak setiap orang terhadap bantuan hukum (General Comment 32/2007 angka 10). Pemerintah seharusnya konsisten dalam mengadopsi ketentuan ICCPR tidak hanya secara legalistik dalam UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Sipol, namun juga dalam praktik aparat dalam pekerjaannya sehari-hari. Dan dalam hal ini internal Kepolisian juga telah memiliki berbagai peraturan yang mewajibkan Kepolisian untuk menjunjung hak asasi manusia dan taat pada asas-asas fair trial[4].

Hak untuk mendapatkan proses hukum pidana yang adil berdasarkan hukum yang berlaku juga berpotensi untuk kembali dilanggar dengan wacana persiapan TNI untuk antisipasi gejolak sosial akibat Pandemi COVID-19.[5] Selain wacana itu berada di luar tupoksi TNI, intervensi TNI pada aspek pidana harus dihindari. Pemerintah seharusnya memprioritaskan upaya pencegahan agar tidak terjadi gejolak sosial di masyarakat melalui jaminan kebutuhan dasar masyarakat di daerah yang terjangkit COVID-19.

  • Hak atas kebebasan berekspresi

Kemerdekaan berekspresi merupakan salah satu hak yang fundamental yang diakui dalam sebuah negara hukum yang demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Pada saat penanganan CPVID-19 kami mencatat, setelah keluarnya Surat Telegram Kapolri (ST/1100/IV/HUK.7.1.2020), kami mencatat 41 kasus penangkapan terhadap orang-orang yang dituduh menyampaikan penghinaan terhadap pejabat negara atau menyebarkan berita bohong. Hal tersebut menjadi pelanggaran HAM jika dilakukan dalam konteks mengkritik, mempertanyakan dan menyampaikan keluhan mengenai cara-cara pemerintah dalam menangani pandemi.

Ekspresi, dengan segala bentuknya yang disampaikan oleh warga negara untuk menkritik cara-cara pemerintah dalam menangani COVID-19 adalah sah dan dilindungi hukum. Kendati kebebasan berekspresi adalah aspek yang dapat dibatasi, namun pembatasannya perlu dilakukan secara cermat dan terukur oleh negara. Kebebasan berekspresi dan berpendapat merupakan aspek krusial yang aplikasinya harus dilindungi oleh Negara. Hal ini selaras dengan pasal 19 Kovenan Hak Sipol sebagaimana telah diadopsi substansinya dalam pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan turunannya dalam 23 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

  • Hak untuk bebas dari diskriminasi dan stigmatisasi 

Pandemi COVID-19 menghasilkan gelombang stigma dan diskriminasi pada kelompok tertentu, salah satunya tenaga kesehatan. Mereka mendapat stigma negatif dari masyarakat sebagai carrier virus karena pekerjaannya sehari-hari mengandung resiko tinggi untuk terpapar virus. Hal ini terlihat dari peristiwa perawat yang diusir dari tempat tinggalnya,[6] tenaga kesehatan yang ditolak oleh tetangganya,[7] hingga penolakan pemakaman jenazah seorang perawat di Semarang.[8]

Stigmatisasi tersebut lahir akibat penyebaran informasi yang dilakukan pemerintah tidak akurat dan parsial sehingga mengakibatkan publik menerima informasi tidak utuh dan mengambil sikap sendiri yang keliru. Hal ini kembali menegaskan dampak dari pelanggaran ha katas informasi terhadap dimensi hak lainnya,

COVID-19 adalah ujian bagi masyarakat, pemerintah, komunitas, dan individu. Penghormatan terhadap hak asasi manusia di seluruh spektrum, termasuk hak ekonomi, sosial, budaya, dan sipil dan politik, akan menjadi fundamental bagi keberhasilan respons kesehatan masyarakat dan pemulihan dari pandemi. pandemi global COVID-19 tidak boleh dan tidak bisa menjadi alasan bagi setiap negara untuk membuat kebijakan yang bersifat represif dan melanggar hak asasi manusia. Sebaliknya, hal tersebut seharusnya menjadi evaluasi untuk kembali melihat peristiwa COVID-19 sebagai isu kesehatan publik yang berdampak pada isu kesejahteraan sosial. Terlebih lagi, dalam mengeluarkan kebijakan, negara harus berpikir panjang mengenai dampak jangka panjang terhadap kebebasan sipil di masyarakat pasca pandemi usai sebab ancaman yang nyata ialah virus bukan warga negara.

Atas dasar tersebut, KontraS mendesak:

  1. Pemerintah untuk menghormati dan mengedepankan HAM, nilai dan prinsip negara hukum dan demokrasi dalam setiap kebijakan yang keluarkan dan dijalankan dalam penanganan pandemic COVID-19; Pengurangan atau pembatasan penikmatan hak asasi manusia harus dilalukan dengan mengikuti ketentuan instrument hukum nasional dan internasional yang telah diratifikasi pemerintah.
  2. DPR dan lembaga-lembaga independen seperti Komnas HAM harus menjalankan fungsi pengawasan secara aktif. Fungsi parlemen dan lembaga negara independen menjadi penting ketika ada pembatasan hak asasi manusia, guna memastikan tidak ada penyalahgunaan oleh pemerintah.
  3. Prisiden RI tidak menggunakan pendekatan yang represif dan anti kritik dalam penangangan COVID-19. Pemerintah harus menempatkan penanganan COVID-19 sebagai persoalan darurat kesehatan masyarakat; diselesaikan dengan pendekatan kesehatan dan medis, dukungan jaring pengaman sosial yang tepat dan efektif, mudah diakses; penyedian informasi yang tepat, memberikan dukungan dan perlindungan bagi seluruh tenaga medis, memberikan prioritas dukungan fasilitas kesehatan baik bagi rumah sakit maupun masyarakat dalam memerangi COVID-19.
  4. Menteri Kesehatan agar segera mengkoordinasikan program tes COVID-19 secara cepat dan massal baik secara acak maupun berdasarkan tracking terhadap pasien positif COVID-19 agar mendapatkan data yang lebih valid mengenai kondisi jumlah positif COVID-19 di Indonesia.
  5. Kapolri agar memastikan anggotanya mengedepankan upaya-upaya persuasif, proporsioal, tanpa penggunaan kekuatan yang berlebih dalam melakukan pengamanan dalam konteks program pemerintah dalam menangani Pandemi COVID-19 dan apabila harus melakukan pemidanaan harus dilakukan dengan tidak sewenang-wenang dan harus berdasarkan pada aturan yang berlaku.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun