Kamar 306: Echo dari Masa Lalu
Prolog: Warisan Sebuah Rumah Sakit Tua
Rumah Sakit Umum Dharma Asih bukan sekadar bangunan tua; ia adalah saksi bisu dari puluhan tahun tawa, air mata, dan keputusasaan. Setiap bata nya seolah menyimpan desisan napas terakhir dan doa-doa yang tak terjawab. Dan malam ini, aku, Ani, seorang perawat baru yang masih hijau, akan menjadi bagian dari sejarah kelamnya.
Bagian 1:Â
Shift Pertama yang Kelam
Cahaya lampu neon di pos perawat memantulkan bayangannya yang panjang dan goyah, menari-nari di lantai vinyl yang mengilap. Udara semakin terasa basi, berminyak, dan berbau campuran aneh antara disinfektan, kopi kental, dan sesuatu yang manis seperti daging yang hampir busuk. Suster Beti, seorang perawat senior dengan wajah yang lebih berkerut dari peta jalan tua Jakarta, duduk di samping Ani. Tangannya yang berurat dan kuat menggenggam erat cangkir keramik yang sudah pudar warnanya. Isinya adalah kopi hitam pekat yang, kurasa, bisa menyamak sepatu.
"Jangan khawatir, Suster Ani. Shift malam di sini... tenang," suaranya serak, seperti derit lantai kayu di malam hari. Matanya, yang tajam dan seolah bisa melihat lebih dari yang seharusnya, Ia menatap Suster Ani dan menambahkan perkataannya. "Kecuali kalau jam sudah menunjukkan tengah malam." Dia jeda sejenak, meneguk kopinya yang pasti sudah dingin. "Asal kamu tahu kadang... sistem komputer suka error sendiri. Bukan cuma error, sih. Layarnya bisa menampilkan hal-hal yang...tidak seharusnya ada." Mendengar ceritanya tersebut, Jantung Suster Ani berdebar kencang. Suster Ani mencoba menelan ludah, tapi tenggorokanku terasa kering.
"Dengar itu, Suster Ani?" Tiba tiba ada suara seorang pria yang ikut menimpali. Dr. Anwar, dokter jaga yang wajahnya selalu terlihat seperti baru saja menghadapi kiamat kecil, berbicara tanpa mengangkat kepala dari tumpukan berkas. "Jangan isi kepala anak baru dengan omong kosong mistis, Beti. Komputer kita itu lebih tua dari masa jabatan direktur kita. Motherboard-nya sudah keropos, itu saja. Tidak ada hantu, tidak ada pasien misterius, hanya ada sistem yang perlu di-upgrade dan anggaran yang terbatas." Dia akhirnya menatap Suster Ani, matanya terlihat lelah tapi penuh keyakinan. "Kita di sini percaya pada sains, bukan dongeng."
Suster Ani mencoba untuk tertawa, tapi yang keluar adalah suara parau yang canggung. "I....iya, Dok. Aku paham." Jawab Suster Ani sambil segera mengambil tablet yang disediakan, berusaha mencari pelarian dari tatapan Suster Beti yang menusuk dan sikap Dr. Anwar yang dingin. Layar tablet itu dingin di ujung jari jemari Suster Ani ketika membuka aplikasi daftar pasien.
"Oke, kalo begitu mari kita lihat... Kamar 304: Pak Romo, pria, 67 tahun, pasien yang terkena stroke, non-verbal. Kondisi stabil, perlu pemantauan saturasi oksigen setiap dua jam." Sambil menjelaskan tangan Suster Ani menggulir ke bawah menggeser menu layar tabletnys, suara Suster Ani sengaja dikeraskan untuk menenangkan diri. "Kamar 305: Ny. Sari, 45 tahun, pasien pasca-operasi usus buntu. Perlu manajemen nyeri dan observasi luka operasi." Suster Ani menarik napas dalam-dalam sebelum jemarinya menggulir ke entri terakhir. "Kamar 306..." Suster Ani berhenti. Ia menyipitkan mata, memastikan agar  membacanya dengan benar. "Kosong. Menurut sistem, kamar 306 tidak terisi."
Suster Beti tiba-tiba batuk kecil, seolah tersedak udara mendengar Suster Ani menyebutkan kamar itu. Sedangan Dr. Anwar mendengus, kembali ke berkasnya.
"Tentu saja kosong. AC di sana rusak. Udara di dalamnya dingin seperti kulkas, bahkan lebih dingin dari koridor. Tidak ada yang bisa tidur di situ. Sekarang, Suster Ani, coba tolong kamu periksa tanda vital Ny. Sari. Dan jangan lupa, catat dengan detail. Data adalah segalanya." Akhirnya dengan perasaan yang masih penasaran dan pertanyaan yang belum terjawab secara jelas Ia pun bergegas untuk melakukan perintah Suster Beti..