“Aku dilahirkan sebagai bayi terlantar, tidak diinginkan oleh orang tuaku. Mengapa kamu masih terus mengejarku. Buka matamu lebar-lebar, banyak sekali perempuan bernasib lebih baik menantimu di luar sana….” terdengar pekik Ratih berlari menjauh dari Hidayat. Mereka menyusuri lorong sekolah yang lengang karena kemalaman menyelesaikan tugas OSIS.
“Aku tetap mencintaimu Ratih, sampai kapanpun…” suara bariton Hidayat terdengar sangat dekat di telinganya. Sebuah lengan kekar membuatnya terpojok di dinding tepi koridor sekolah. Dia merasakan sensasi panas misterius di telinganya dan membuat tubuhnya bagaikan tersengat listrik. Hanya mereka berdua di tempat itu, terperangkap dalam gelap dan hujan deras yang turun tiba-tiba. Ribuan jatuhan air dari angkasa melanda tempat Ratih menuntut ilmu yang baru dijalaninya selama satu setengah tahun. Dirasakannya ujung bibir Hidayat telah menyentuh cuping telinganya. Perempuan itu tiba-tiba tersadar bakal kedatangan marabahaya besar dan berusaha melawan naluri aneh yang melanda batinnya. Pikirannya berkecamuk membayangkan kembali pembicaraan tetua tentang sentuhan mistis antara lelaki dan perempuan. Otaknya memutar memori bagaikan film dokumenter. Terbayang wajah teman sekolahnya yang kebablasan di usia dini. Perkara menyembunyikan 'sesuatu maha dahsyat' membuat mereka harus mengenakan jaket longgar di hari nan terik atau keluhan meriang tanpa henti supaya diberi kesempatan terus membungkus diri bagaikan lemper saat tiba jam olah raga.
*
“Ayolah Ratih, berikanlah sesuatu yang manis untukku. Hanya kita berdua di sini sekarang. Aku tahu benar, dasar hatimu pasti menginginkan sensasi yang telah dialami oleh Nikmah, Sari dan siapapun yang telah merasakan surga itu. Iya kan?” suara Hidayat kembali menari di telinganya. Ratih merasakan gemuruh aliran darah lelaki itu dalam intonasi suaranya.
Perempuan itu mendengus sangat kesal dan mendorong tubuh teman sekolah yang menghalangi langkahnya. Hidayat takjub, the beautiful creature yang dianggapnya sebagai perempuan lembek tidak berdaya ternyata mampu menghempaskan tubuhnya menjauh dari target. Hidayat berusaha menangkap lengan Ratih namun perempuan itu berkelit. Dipandangnya Ratih yang terus berjalan penuh kemarahan menembus badai hujan seakan tumpah dari langit menangisi nasib gadis itu. Hidayat memukul dinding sekolah penuh rasa menyesal luar biasa. Tanpa sengaja mulutnya telah melontarkan kalimat yang membuka luka lama dalam hati Ratih. Apa daya, nasi telah menjadi bubur.
*
Perempuan paruh baya berkaki pincang itu duduk mengawasi tubuh ringkih yang tertidur di hadapannya. Dia adalah dukun pijat di kampung yang terkenal dengan cara berpikir sarat mistis. Wajah gadis dihadapannya terlihat sangat lelah. Ranjang tua itu berderit saat tubuh sang gadis menggeliat dan terdengar erangan parau dari mulutnya.
“Alhamdulillah, kamu sudah siuman,” terdengar ucapan puji syukur di bibir Mak.
“Petugas ronda keliling yang menolongmu dari kejaran centeng dan anjing-anjingnya. Kenapa sih kamu harus masuk diam-diam ke dalam rumah Mandor Sinyo. Kamu tahu kan, situasi di sana sangat berbahaya untuk siapapun yang masuk tanpa izin.”
Ratih memegang keningnya, terasa berdenyut sangat sakit. Memar yang berada di tempat itu dan betisnya yang terluka seakan meluluhlantakkan otaknya yang dipenuhi rasa perih luar biasa.