Mohon tunggu...
Sovia Margaretta Asi Simbolon
Sovia Margaretta Asi Simbolon Mohon Tunggu... Guru - Senang membaca dan berbagi ilmu

Berdiskusi kepada Tuhan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mulai dari Diri Menerapkan Budaya Positif

18 Oktober 2021   21:15 Diperbarui: 18 Oktober 2021   21:36 18364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Membangun budaya yang positif, warga sekolah perlu berkolaborasi menyediakan lingkungan yang positif, aman, dan nyaman agar murid-murid mampu berpikir, bertindak, dan mencipta dengan merdeka, mandiri, dan bertanggung jawab.  Strategi disiplin yang diterapkan dalam sekolah perlu diperbaiki. Biasanya disiplin dikaitakan dengan kontrol. Dalam hal ini, kontrol guru dalam menghadapi murid. Dr. William Glasser dalam Control Theory, untuk meluruskan berapa miskonsepsi tentang kontrol: 

  1. Ilusi guru mengontrol murid. Pada dasarnya kita tidak dapat memaksa murid untuk berbuat sesuatu jikalau murid tersebut memilih untuk tidak melakukannya. Walaupun tampaknya kita sedang mengontrol perilaku murid tersebut, hal ini karena murid tersebut sedang mengizinkan dirinya dikontrol. Saat itu bentuk kontrol guru menjadi kebutuhan dasar yang dipilih murid tersebut. Teori Kontrol menyatakan bahwa semua perilaku memiliki tujuan, bahkan terhadap perilaku yang tidak disukai.
  2. Ilusi bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat. Penguatan positif atau bujukan adalah bentuk-bentuk kontrol. Segala usaha untuk mempengaruhi murid agar mengulangi suatu perilaku tertentu, adalah suatu usaha untuk mengontrol murid tersebut. Dalam jangka waktu tertentu, kemungkinan murid tersebut akan menyadarinya dan mencoba untuk menolak bujukan kita, atau bisa jadi murid tersebut menjadi tergantung pada pendapat sang guru untuk berusaha.
  3. Ilusi bahwa kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat menguatkan karakter. Menggunakan kritik dan rasa bersalah untuk mengontrol murid menuju pada identitas gagal. Mereka belajar untuk merasa buruk tentang diri mereka. Mereka mengembangkan dialog diri yang negatif. Kadang kala sulit bagi guru untuk mengidentifikasi bahwa mereka melakukan perilaku ini, karena seringkali guru cukup menggunakan suara halus untuk menyampaikan pesan negatif.
  4. Ilusi bahwa orang dewasa memiliki hak untuk memaksa. Banyak orang dewasa yang percaya bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk membuat murid-murid berbuat hal-hal tertentu. Apapun yang dilakukan dapat diterima, selama ada sebuah kemajuan berdasarkan sebuah pengukuran kinerja. Pada saat itu pula, orang dewasa akan menyadari bahwa perilaku memaksa tidak akan efektif untuk jangka waktu panjang, dan sebuah hubungan permusuhan akan terbentuk.

Stephen R. Covey (Principle-Centered Leadership, 1991) mengatakan bahwa,"..bila kita ingin membuat kemajuan perlahan, sedikit-sedikit, ubahlah sikap atau perilaku Anda. Namun bila kita ingin memperbaiki cara-cara utama kita, maka kita perlu mengubah kerangka acuan kita. Ubahlah bagaimana Anda melihat dunia, bagaimana Anda berpikir tentang manusia, ubahlah paradigma Anda." Misalnya: Kita melihat realitas bahwa kebutuhan setiap orang berbeda, setiap orang memiliki gambaran berbeda, kita berusaha memahami pandangan orang lain tentang dunia, semua prilkau memiliki tujuan, hanya Anda yang bisa mengontrol diri Anda, Anda tidak bisa mengontrol diri orang lain, kolaborasi dan konsesus menciptakan pilihan-pilihan baru, dan model berpikir menang-menang.

Oleh karena itu, peran guru penggerak sangat dibutuhkan di sekolah dan kelas. Guru penggerak harus menjadi agen perubahan, yaitu mulai dari diri tergerak, bergerak, dan menggerakkan warga sekolah, yaitu Kepala Sekolah, wakil kepala sekolah, rekan guru, murid, pengawas, komite, orangtua untuk berkolaborasi mewujudkan budaya positif. Kenapa harus guru penggerak yang melakukan perubahan?Karena, diri guru penggerak sudah tertanam pemikiran pemahaman filosofi Ki Hajar Dewantara, yaitu menuntun segala kodrat dalam diri anak agar mereka mendapat keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tinginya agar menjadi manusi dan anggota masyarakat. Di mana seorang guru penggerak memiliki nilai -nilai dalam dirinya, yatu mandiri, kolaboratif, inovatif, reflekstif, berpihak pada murid. Dengan nilai yang ada dalam dirinya maka dia dapat berperan untuk menjadi kepemimpinan pembelajaran, menggerakkan komunitas praktisi, menjadi coac bagi guru lain, berkolaborasi antar guru, dan kepemimpinan berpihak pada murid. 

Sebagai guru penggerak harus lebih awal menciptakan budaya positif, dengan memiliki kerangka acuan yang diutarakan Steven R. Covey. Dan, motivasi prilakunya: menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Motivasi tersebut datang dari dalam diri atau kesadaran sendiri.

Di masa sekarang ini, para  guru, sangat senang membahas tentang disiplin. Mereka berpikir bahwa anak-anak yang menerapkan disiplin, pasti mereka akan bisa belajar. Di pemikiran para guru bahwa "disiplin"  sering dihubungkan dengan hukuman. padahal,  Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa ."dimana ada kemerdekaan, disitulah harus ada disiplin yang kuat. Sungguhpun disiplin itu bersifat "self discipline" yaitu kita sendiri yang mewajibkan kita dengan sekeras-kerasnya, tetapi itu sama saja; sebab jikalau kita tidak cakap melakukan self discipline, wajiblah penguasa lain mendisiplin diri kita. Dan peraturan demikian itulah harus ada di dalam suasana yang merdeka. (Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka,  Cetakan Kelima, 2013, Halaman 470).  Berarti, sebagai pendidik, tujuan kita adalah menciptakan anak-anak yang memiliki disiplin diri sehingga mereka bisa berperilaku dengan mengacu pada nilai-nilai kebajikan universal dan memiliki motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik.  

Untuk terbentuknya budaya positif di sekolah dan kelas pertama-tama perlu diciptakan dan disepakati keyakinan-keyakinan atau prinsip-prinsip dasar bersama di antara para warga kelas. gitu. Pembentukan Keyakinan Kelas:

  • Keyakinan kelas bersifat lebih 'abstrak' daripada peraturan, yang lebih rinci dan konkrit.
  • Keyakinan kelas berupa pernyataan-pernyataan universal.
  • Pernyataan keyakinan kelas senantiasa dibuat dalam bentuk positif.
  • Keyakinan kelas hendaknya tidak terlalu banyak, sehingga mudah diingat dan dipahami oleh semua warga kelas.
  • Keyakinan kelas sebaiknya sesuatu yang dapat diterapkan di lingkungan tersebut. 
  • Semua warga kelas hendaknya ikut berkontribusi dalam pembuatan keyakinan kelas lewat kegiatan curah pendapat.
  • Bersedia meninjau kembali keyakinan kelas dari waktu ke waktu.

Prosedur Pembentukan Keyakinan Kelas:

  1. Mempersilakan murid-murid di kelas untuk bercurah pendapat tentang peraturan yang perlu disepakati di kelas.

  2. Mencatat semua masukan-masukan para murid di papan tulis atau di kertas besar (kertas ukuran poster), di mana semua anggota kelas bisa melihat hasil curah pendapat.

  3. Susunlah keyakinan kelas sesuai prosedur 'Pembentukan Keyakinan Kelas'. Gantilah kalimat-kalimat dalam bentuk negatif menjadi positif.
    Contoh
    Kalimat negatif : Jangan berlari di kelas atau koridor.
    Kalimat positif: Berjalanlah di kelas atau koridor.

  4. Tinjau kembali daftar curah pendapat yang sudah dicatat. Anda mungkin akan mendapati bahwa pernyataan yang tertulis di sana masih banyak yang berupa peraturan-peraturan. Selanjutnya, ajak murid-murid untuk menemukan nilai kebajikan atau keyakinan yang menjadi inti dari peraturan tersebut.  Contoh: Berjalan di kelas, Dengarkan Guru, Datanglah tepat waktu bisa disarikan menjadi 1 Keyakinan, yaitu keyakinan untuk Saling Menghormati atau nilai kebajikan Hormat. Keyakinan inilah yang dijadikan daftar untuk disepakati. Kegiatan ini juga merupakan peralihan dari bentuk peraturan ke keyakinan kelas.

  5. HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    4. 4
    5. 5
    6. 6
    7. 7
    8. 8
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
    Lihat Pendidikan Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun