Dapur itu berserakan dan kotor, lantai tanahnya mengering, api yg menghangatkan pagi sudah berganti dengan tumpukan debu, jaring laba-laba sudah menguasai ruangan ini. api itu sirna seiring kepergian belahan hati sebulan yang lalu. Laki-laki itu berdiri tertegun di pintu dapur, kakinya kekar dan badannya liat tapi matanya tidak bisa menyembunyikan lubang besar di hatinya.
Tak terasa air menetes di wajahnya yang pucat dan mengenai kakinya, dimatanya dia masih menguasai dapur ini sembari menggendong narto dan menjaga narmi, setiap pagi selalu ada senyum hangat si cantik anak kepala desa, sebuah pernikahan yang ditunggu-tunggu antara anak pengawal diponegoro dan anak kepala desa.
lamunannya terhenti ketika ragil yang kedinginan menjerit, suaranya serak dan sesak, bayi merah yang tidak terawat dan sakit-sakitan, kerasnya suara tangisnya menggambarkan ada darah pejuang mengalir di nadinya, dia sentuh lengannya yang rapuh dengan jarinya sambil berguman, "anak yang malang."
Bergegas dia menggendong ragil dan berlari menuju rumah adheknya untuk di beri makan.
Sembari membawa cangkul dan sabit dia menggendong ragil dengan tangkas, kakinya tetap lincah dan kuat, tangannya masih terampil, keberaniannya masih membuat semua orang segan di desanya, tetapi hatinya tidak cukup kuat menahan duka yang dalam.
Berangkat ke sawah dengan muka muram, hidupnya adalah hatinya, hatinya adalah istrinya, tapi dia sudah pergi ketika ragil masih 6 hari, perdarahannya gak pernah berhenti sejak melahirkan dan itu cuma cara untuk mematahkan hatinya, tidak ada lagi hidup dan kehidupan setelah itu.
Sawahnya yang sangat luas, tidak bisa lagi mengisi lubang di hatinya, hidupnya hanya dirinya. hidupnya berjalan lambat, bahkan teman-temannya tidak ada yg bisa memberikan senyum di bibirnya, desa itu sudah kehilangan sumber keceriaannya, karena sang pemimpinnya kehilangan jiwanya.
Padi sudah menguning di bulan Desember, dia biarkan burung pipit memakan karena apa arti di sawah ketika tidak ada belahan hati menunggu di rumah, apa gunanya panen padi ketika api dapur sudah padam.
Dia menyusuri pematang sawah sambil menyanyikan lagu duka nestapa dan berjalan pelan sambil berharap ada suara lembut memanggilnya, yg dia tau itu cuma mimpi bisu.
Siang ini udara begitu dingin, mendung menggantung seakan mau menimpa dunia, dalam hatinya berkata, "timpalah aku dan biarlah aku menemukan hatiku kembali", airmata kembali turun ketika tetes pertama hujan menetesi hamparan tanah yang subur tempat ibu bumi memberikan semuanya buat dia.
Hujan ini sangat deras dan berangin, tapi tidak cukup mengimbangi luka hatinya, dari kejauhan samar2 terlihat 2 orang berlarian dengan terburu-buru, memanggil namanya, "matari, matari". semakin dekat semakin keras dan dia sadar ada sesuatu yang salah, "ragil tidak sadarkan diri", jiwanya tergoncang, dia tinggalkan cangkulnya dan berlari kencang, seperti ketika peluru belanda mencoba membunuh jiwanya, sama seperti ketika mengejar pencuri kuda seorang diri dia berlari menuju rumah adheknya.