GERHANA DI BALUT AIR MATA
Karya: Sohib
Pagi-pagi hari Minggu buta setelah salat subuh, seperti biasa suami mengajak pergi keliling mencari sarapan. Sarapan pagi yang ia sukai adalah Soto Ayam di Mas Karyo yang selalu dipenuhi pelanggan. Sambil saya siap-siap, suami membawa semua uang bonus tahun ini bekerja yang dimasukkan ke dompetku, ada 20 juta rupiah. Pukul 06.30 saya dan suami mulai menuju ke warung Soto Ayam Mas Karyo. Suami mengendarai sepeda motor perlahan sambil menikmati suasana sejuknya pagi. Sepanjang jalan masih penuh hamparan sawah, tetapi beberapa sudah berdiri perumahan dan pabrik yang dulunya sawah.
Sesampainya di warung Soto Mas Karyo, suami dan saya mengantri paling belakang, entah antrian keberapa persisnya, tapi memang benar panjang. Mata suami saya tengok kiri kanan karena saking panjangnya antrian. Tiba-tiba suami berbisik kepada saya:
"Sayang, kita makan di sana yuk, kasihan tempatnya sepi," sambil tangan suami menunjuk kepada penjual kupat tahu.
"Bukannya sayang tidak suka kupat tahu?" kata saya kepada suami.
Tidak pikir panjang, suami langsung menggandeng saya keluar dari antrian dan menaiki motor mendatangi penjual kupat tahu. Kami langsung duduk di atas tikar karena jualannya di pinggir jalan. Penjual kupat tahu itu sambil mengusap tangan ke wajah seperti bentuk rasa syukur kedatangan kami sebagai pembeli. Kami menikmatinya walau saya melihat suami berusaha menikmatinya demi tidak menyakiti perasaan pedagangnya. Saya tidak berani berkata apa-apa saat suami berusaha menikmati sesuatu yang tidak disukainya, lantas ia berkata:
"Sayang, ternyata kupat tahu enak juga," lantas suami juga memuji kepada penjualnya.
"Pak, kupat tahunya sangat enak sekali. Boleh saya memborongnya, pak? Terus bapak bagikan dengan gratis kepada orang yang ingin sarapan ya, pak," tutur suami.
Sontak penjual kupat tahu itu langsung tiba-tiba menghadap ke arah kiblat dan bersujud, seperti baru pertama kali jualannya habis. Selesai kami makan, kami membayar semua jualannya dengan 2 juta rupiah. Kami berpamitan kepada penjual, kami melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan ke pasar itu pun, suami selalu berhenti di penjual yang sepi dan lagi-lagi diborong, hingga uang bonus pada hari itu juga habis semuanya. Hati saya sebagai perempuan sangat kesal menghamburkan uang. Saat pulang dari pasar saya berusaha menanyakan kepada suami di atas motor: