Mohon tunggu...
Sofiatul Munawaroh
Sofiatul Munawaroh Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Seorang perempuan yang ingin menjadi manusia seutuhnya. Mohon doa, semoga rajin menjadi hobi saya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepatu Ayah

26 Februari 2024   10:06 Diperbarui: 26 Februari 2024   12:28 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Siang ini mentari terasa lebih menyengat dari hari-hari sebelumnya. Angkot yang merayap serta desak yang menambah sesak tiap manusia yang menumpangnya. Aku termasuk satu diantara penumpang sesak itu. Duduk dipaling pojok dekat kaca belakang yang besar. Ini adalah salah satu cara terbaik untuk sejenak menghilangkan peluh dari derita kota. Sejenak menengok kebelakang, sambil mengamati  keadaan diluar serta memperkirakan apakah aku harus tertidur di angkot ini atau berkhayal saja.

Beginilah kiranya masa dewasa yang kuhabiskan. angkot merenggut beberapa persen usiaku. Tapi terkadang banyak khayalan dan kenangan yang tak sadar lewat menghampiriku. Memang tak sehebat JK. Rowling yang mendapat inspirasi menulis Harry Potter saat menunggu kereta, tapi semoga one day aku pun bisa menulis seperti beliau. 

Bisik-bisik yang terdengar semakin nyaring membuyarkan lamunanku. Sekelompok anak SMA didepanku ketawa-ketiwi, salah satu dari mereka seakan salting, sambil memamerkan beberapa pernak-pernik kepunyaannya. Seorang lainnya yang terlihat paling tinggi sesekali dengan malu-malu yang disengaja memamerkan sepatunya yang ditimpali dengan decak 'wow' dari teman-teman lainnya.

Aku tersenyum melihat tingkah mereka. Aku ingat betul saat umurku setara dengan mereka. Saat itu sekitar awal ajaran baru tahun 2006, aku masih duduk dibangku sma. Dimana satu trend masih berusia lama. Tidak hari ini viral, besok ganti lagi. Saat itu sepatu Piero sedang hype di daerahku. Aku sadar diri, bukan dari kalangan atas yang dengan mudah dapat memenuhi keinginan secepat kedipan mata. Jika ingin sesuatu aku harus mau berusaha ekstra. Terlebih harga sepatu  itu setara dengan gaji ayah seminggu. Aku tak tega, aku tak sampai hati. Tapi mulutku selalu saja pada ibu dan ayah. Mulai dari pulang sekolah, makan bersama, dan disela-sela luang lain, selagi ada kesempatan aku bercerita tentang sepatu impian tersebut. 

Sampai masuklah ke minggu selanjutnya, ayah mengajakku pergi ke pasar. Aku kira kita kepasarhanya untuk membeli keperluan rumah. Terlebih ayah jarang sejalu pergi ke pasar. katanya malu, beberapa murid ayah selalu memberi ayah bahan makanan gratis, padahal ayah tau mereka itu jualan, mengharap pundi-pundi rupiah dari dagangannya. "Coba bayangkan jika mereka memberi ayah secara cuma-cuma, lantas mereka akan mendapat keuntungan darimana?," ucap ayah saat aku tanya kenapa ayahtak seperti ayah-ayah lain yang dengan senang hati kepasar.

Oh ya, ayahku adalah ustadz di kampung, yang biasa mengajar kitab kuning di pesantren dekat rumah. Meski begitu, buruh bangunan adalah penghasilan keluarga kami satu-satunya. Terkadang memang dibantu ibu yang menjahit pakaian untuk tetangga. Tapi di zaman itu, hanya lebaran dan beberapa acara yang dianggap sangat penting saja orang-orang menjahit baju. Sisanya, pakailah yag ada.

Sesampainya di pasar, ayah mengajakku ke toko sepatu. Alangkah bahagianya aku. Tentu sepatu yang ku inginkan akan segera terwujud. ucapku dalam hati. 

Saat masuk toko, mataku langsung tertuju pada sepatu biru dengan aksen warna hitam yang aku impikan. Modelnya yang keren dan solnya yang tinggi membuat sepatu itu semakin gagah. Dan bayangkan jika aku memakainya. Tentu akan sangat lengkap bukan. Jujur dengan jiwa tomboyku tak mungkin aku memilih warna-warna feminime seperti pink dan ungu. "Ayo, Nak, kamu pilih sepatu mana yang kamu mau," ujar ayah. Sungguh kata itu yang aku tunggu sejak minggu kemarin. 

Tanpa pikir panjang, aku ambil sepatu yang sudah mencuri perhatianku bahkan sejak pertama masuk toko ini. Ayah langsung mengiyakannya. Saat pemilik toko mendekat ayah berbincang-bincang yang tampak serius. Terjadi pergulatan harga yang dengannya aku merasa bersalah. Mungkinkah uang ayah tidak cukup? seharusnya aku tau sepatu itu terlampau mahal harganya.

Tapi tak tampak ragu dalam raut  wajah ayah, meski beberapa kali nadanya lemah. Sejenak untuk mengusir rasa bersalah aku duduk di depan toko sambil melihat motor dan mobil berlalu lalang, yang tentu belum seramai sekarang. setelah lama, hari sudah mulai sore, akhirnya sepatu impianku dapat ayah bawa dengan sejumlah uang yang disepakati. Aku senang bukan main, besok senin aku pakai sepatu baru. 

Kita pulang bersama, diajalan aku bertanya, "Ayah, kenapa tadi bapak penjualnya seperti kurangramah pada ayah."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun