Mohon tunggu...
Sofiandy Zakaria
Sofiandy Zakaria Mohon Tunggu... Dosen - Pensiunan PNS Badan Pengembangan SDM Dep. KIMPRASWIL/ Dep. PU. Dosen Prodi Ilmu Komunikasi FISIP-UMJ 1989-2022. Dosen Fakultas Psikologi UIN Jakarta 2007-2022

Menulis ,Olah raga berenang dan jalan kaki

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berteriak Berulang-ulang

26 September 2022   09:00 Diperbarui: 19 Desember 2022   19:02 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bila kita  jalan-jalan ke pusat perbelanjaan tradisional, atau pasar yang agak modern , bahkan mungkin pasar modern sekalipun, pasti  kita kerap melihat dan mendengar para pedagang di pinggiran jalan sekitarnya menawarkan barang-barang  dagangannya dengan cara berteriaka-teriak , di tengah keramaian pedagang-pedagang lain: agar calon-calon pembeli tertarik. 

Teriakan mereka beragam  dalam  nada suara, ucapan berulang-ulang,  intonasi , kosa kata dan  konten pesan  tertentu yang khas menjadi satu kesatuan pesan yang mempunyai arti dan makna agar bisa diterima khalayak ramai..

Mereka yang berjualan di sepanjang jalur pejalan kaki, atau di serambi muka ( emper ) pertokoan, diluar bangunan pusat perbelanjaan tersebut, kita kenal sebagai pedagang kaki lima. Umumnya  mereka adalah pedagang pikulan ( angkringan ) dan dorongan.  

Mengapa mereka disebut pedagang kaki lima ?  Konon menurut salah satu versi cerita, karena para pedagang yang berjualan di trotoar ini ada yang menggunakan gerobak dorong. Gerobak itu rodanya dua. Supaya gerobak dapat berdiri stabil, maka ditambah satu tiang penyangga, sehingga dianggap memiliki tiga kaki. Ditambah kaki si pedagang, maka jumlahnya menjadi lima.

Menurut kisah lain: pada zaman Belanda, semua gedung di jalan utama di Batavia diwajibkan membangun fasilitas untuk para pejalan kaki, yang kini dikenal dengan nama trotoar (trottoir ).Trotoar tersebut tingginya 31 cm dari permukaan jalan raya. 

Sedangkan lebarnya five feet atau sekitar 152 cm. Trotoar tersebut akhirnya dimanfaatkan oleh para pedagang musiman untuk menjajakan dagangannya. Mereka mangkal di trotoar sambil teriak-teriak menawarkan barang-barang dagangannya. Dari istilah trotoar five feet atau lima kaki inilah maka mereka disebut pedagang kaki lima. (Syanne Ayuresta -- Bobo.id, Jumat, 8 Desember 2017 | 10:15 WIB ).

Pesan-pesan teriakan pedagang kaki lima  begitu sederhana, merakyat, kocak, bahkan  kadang cenderung agak konyol,. Berikut sekelumit contoh teriakan yang sering kita dengar, terutama di pasar-pasar taradisional besar seperti pasar Tanah Abang Jakarta, yang begitu populer di kalangan ibu-ibu pelanggan belanja kulakan, bukan hanya dari Jakarta saja, tapi juga dari daerah, bahkan katanya ada yang dari Malaysia: "Dipilih- dipilih 100 ribu tiga. Sayang anak --sayang cucu - sayang istri. 

Yang murah-yang murah. barang bagus-asli. Ditanggung tidak luntur- luntur tidak ditanggung. Racun tikus-racun tikus. Mertua galak - racun tikus". Tidak ada hubungan sama sekali antara racun tikus dengan mertua galak. Tidak ada pula anjuran pedagang eceran  racun tikus tersebut agar mertua galak diberi racun tikus. Sekadar teriakan untuk menarik perhatian orang-orang yang lalu lalang.

Hiruk pikuk teriakan.

Sejak era reformasi dan perkembangan teknologi digital yang begitu pesat, teriakan-teriakan ternyata tidak hanya terbatas pada ujaran-ujaran verbal di pusat-pusat perbelanjaan. Hiruk pikuk, riuh rendah gaduh teriakan dimana-mana.

 Teriakan gaduh bahkan simpang siur terjadi di alam nyata, di banyak sudut keramaian kota dan kanal-kanal jagat maya: bermetafora menjadi  berbagai bentuk iklan dan promosi  barang atau jasa, bahkan identitas orang-orang yang ingin lebih dikenal dan terkenal.

 Teriakan bermacam konten pesan sudah menjadi satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari keseharian kehidupan kita: bisa jadi di rumah atau keluarga, di sekolah dan atau di masyarakat umumnya. Teriakan para pedagang, pebisnis,  entrepreneurs, dan atau  pun para politisi bukan hanya monopoli orang-orang Indonesia, tapi sudah menjadi jaringan antar negara dan milik wilayah global.

Sejalan dengan perkembangan teknologi cetak, gambar , audio dan video digital,  iklan-iklan below the line, tradisional banyak yang bermetapora menjadi iklan-iklan kreatif terutama di radio, televisi juga di kanal-kanal  jagat maya dalam banyak bidang aktivitas. 

Bukan hanya iklan politik bisu dalam baliho-baliho ukuran besar, tapi juga iklan-iklan audio dan video gerak ( audio visual ), layaknya gambaran kehidupan nyata manusia. Teriakan dalam iklan-iklan above the line\, mutakhir bukan hanya sekadar jualan pesan barang dan  jasa kebutuhan sehari-hari, melainkan juga banyak  pesan bernada propaganda dan agitasi politik, budaya bahkan agama . Dewasa ini berbagai pesan teriakan semakin gampang  kita dapatkan terutama di jagat maya di banyak kanal atau aplikasi medsos.

Narasi teriakan pun kadang sekadar guyonan, tapi juga banyak  ujaran-ujaran kritikan, dari yang halus-halus sampai yang keras-keras pedas. Bahkan ujaran-ujaran  hasutan, fitnah dan kebencian, kedengkian  serta kebohongan berkembang begitu bebas.

Kendati demikian, produk pesan-pesan teriakan dalam berbagai bentuk  iklan sejatinya adalah  representasi realitas sosial tentang perjuangan dan persaingan hidup manusia, mengenai janji, harapan, kegalauan, kekhawatiran, kegetiran, bahkan mungkin kefrustasian. 

Agar menarik perhatian, maka pesan-pesan  iklan pun dirancang dan direkayasa dalam berbagai rupa tulisan, warna, suara, gerakan dan ditayangkan berulang-ulang. Banyak orang pun bingung, kesulitan untuk  membedakan mana teriakan pemberi harapan nyata atau  palsu, dusta, dan hoax.

Ketertarikan terhadap ujaran-ujaran  iklan dan pesan apa pun, sifatnya sementara, mudah lenyap. Apalagi dalam situasi persaingan bebas yang hampir tanpa kendali yang memadai. Hasil riset, seperti ditulis The Telegraph, 15 Mei 2015 menunjukkan, bahwa durasi kemampuan manusia untuk memfokuskan perhatian saat ini cuma delapan detik. 

Teriakan iklan, promosi, yang bernada menyarankan, dan meyakinkan bahkan propaganda dan agitasi,  pada dasarnya adalah  kreativitas dan dinamika seseorang atau sekelompok orang yang terikat dalam suatu sistem kelembagaan untuk memenuhi berbagai keinginan dan kebutuhan hidup manusia. Gelombang energi berbagai dorongan dalam internal  dan eksternal diri kita . 

Apabila dorongan demi dorongan dilepas tanpa kendali dan peningkatan kemampuan memahami realitas, juga kekuatan keyakinan akan tuntunan norma, etika, budaya dan agama yang dianut manusia , maka perilaku manusia dalam berteriak berulang-ulang juga menjadi psikopat, menghalalkan segala cara untuk mencapai  berbagai tujuan hidupnya.

 Tempo dulu  banyak orang menyebut teriakan iklan itu reklame. Secara etimologis, asal usul kata reklame diambil dari bahasa latin, yaitu re clamare atau re clamo. Re artinya "kembali -berulang-ulang" dan clamare atau clamo artinya "berteriak". Konten pesannya cenderung narsis dan  sarat janji. Bisa jadi janji-janji asal bunyi.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun