Mohon tunggu...
Sofiandy Zakaria
Sofiandy Zakaria Mohon Tunggu... Dosen - Pensiunan PNS Badan Pengembangan SDM Dep. KIMPRASWIL/ Dep. PU. Dosen Prodi Ilmu Komunikasi FISIP-UMJ 1989-2022. Dosen Fakultas Psikologi UIN Jakarta 2007-2022

Menulis ,Olah raga berenang dan jalan kaki

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berteriak Berulang-ulang

26 September 2022   09:00 Diperbarui: 19 Desember 2022   19:02 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 Teriakan bermacam konten pesan sudah menjadi satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari keseharian kehidupan kita: bisa jadi di rumah atau keluarga, di sekolah dan atau di masyarakat umumnya. Teriakan para pedagang, pebisnis,  entrepreneurs, dan atau  pun para politisi bukan hanya monopoli orang-orang Indonesia, tapi sudah menjadi jaringan antar negara dan milik wilayah global.

Sejalan dengan perkembangan teknologi cetak, gambar , audio dan video digital,  iklan-iklan below the line, tradisional banyak yang bermetapora menjadi iklan-iklan kreatif terutama di radio, televisi juga di kanal-kanal  jagat maya dalam banyak bidang aktivitas. 

Bukan hanya iklan politik bisu dalam baliho-baliho ukuran besar, tapi juga iklan-iklan audio dan video gerak ( audio visual ), layaknya gambaran kehidupan nyata manusia. Teriakan dalam iklan-iklan above the line\, mutakhir bukan hanya sekadar jualan pesan barang dan  jasa kebutuhan sehari-hari, melainkan juga banyak  pesan bernada propaganda dan agitasi politik, budaya bahkan agama . Dewasa ini berbagai pesan teriakan semakin gampang  kita dapatkan terutama di jagat maya di banyak kanal atau aplikasi medsos.

Narasi teriakan pun kadang sekadar guyonan, tapi juga banyak  ujaran-ujaran kritikan, dari yang halus-halus sampai yang keras-keras pedas. Bahkan ujaran-ujaran  hasutan, fitnah dan kebencian, kedengkian  serta kebohongan berkembang begitu bebas.

Kendati demikian, produk pesan-pesan teriakan dalam berbagai bentuk  iklan sejatinya adalah  representasi realitas sosial tentang perjuangan dan persaingan hidup manusia, mengenai janji, harapan, kegalauan, kekhawatiran, kegetiran, bahkan mungkin kefrustasian. 

Agar menarik perhatian, maka pesan-pesan  iklan pun dirancang dan direkayasa dalam berbagai rupa tulisan, warna, suara, gerakan dan ditayangkan berulang-ulang. Banyak orang pun bingung, kesulitan untuk  membedakan mana teriakan pemberi harapan nyata atau  palsu, dusta, dan hoax.

Ketertarikan terhadap ujaran-ujaran  iklan dan pesan apa pun, sifatnya sementara, mudah lenyap. Apalagi dalam situasi persaingan bebas yang hampir tanpa kendali yang memadai. Hasil riset, seperti ditulis The Telegraph, 15 Mei 2015 menunjukkan, bahwa durasi kemampuan manusia untuk memfokuskan perhatian saat ini cuma delapan detik. 

Teriakan iklan, promosi, yang bernada menyarankan, dan meyakinkan bahkan propaganda dan agitasi,  pada dasarnya adalah  kreativitas dan dinamika seseorang atau sekelompok orang yang terikat dalam suatu sistem kelembagaan untuk memenuhi berbagai keinginan dan kebutuhan hidup manusia. Gelombang energi berbagai dorongan dalam internal  dan eksternal diri kita . 

Apabila dorongan demi dorongan dilepas tanpa kendali dan peningkatan kemampuan memahami realitas, juga kekuatan keyakinan akan tuntunan norma, etika, budaya dan agama yang dianut manusia , maka perilaku manusia dalam berteriak berulang-ulang juga menjadi psikopat, menghalalkan segala cara untuk mencapai  berbagai tujuan hidupnya.

 Tempo dulu  banyak orang menyebut teriakan iklan itu reklame. Secara etimologis, asal usul kata reklame diambil dari bahasa latin, yaitu re clamare atau re clamo. Re artinya "kembali -berulang-ulang" dan clamare atau clamo artinya "berteriak". Konten pesannya cenderung narsis dan  sarat janji. Bisa jadi janji-janji asal bunyi.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun