Bagian 3
Kehidupan terus berjalan, Minke merasakan ada yang berubah. Boerderij Buitenzorg rumah/perusahaan besar yang pernah singgah selalu memanggil dalam perasaanya bahkan setiap menit, jam, dan waktu terbayang-bayang wajah Annelis yang disukainya. Namun dibalik kerinduannya, Pikiran Minke kacau dan bimbang. Ia menceritakan meluapkan rasa ke tetangga sebelahnya yang bernama "Jean Marais" seorang pelukis handal asli Prancis berkaki satu, Ia pincang setelah medan perang di Aceh menjadi kompeni dari bangsa penjajah. Setelah itu, ia menjadi Spandri (Serdadu kelas 1) di Aceh sambil lalu menekuni lukisannya. Jean Marais mempunyai anak satu gadis bernama "May Marais".Â
Minke menceritakan setelah berjelajah ke rumah Besar  Boerderij Buitenzorg kemarin dan menceritakan semuanya termasuk perkenalan dengan Nyai Ontosoroh itu, Ia khawatir tiada nyai/Gundik yang berperilaku baik yang ada hanya nafsu belaka dalam kehidupannya. Namun disi lain Minke justru lebih tertarik pada Nyai karena tidak nyata apa yang dibicarakan Jean Marais justru kebalikannya, Nyai Ontosoroh bukan hanya seorang gadis Pribumi yang di Gundik dengan seorang Taun kaya raya (Herman Mellema). Namun ia bijaksana, berani seperti yang telah saya uraikan diatas.
Kembali lagi pada keadaan waktu medan perang di Aceh, Menurut Jean Marais saat menjadi Kompeni untuk berperang di Aceh. Orang-orang disana tak hanya pandai menggeretak, mereka juga ulet dan keras seperti baja. Prasangka yang dinyatakan oleh Jean mengakui: Kemampuan Pribumi sebenarnya tangguh dan tinggi hanya saja mereka minim dengan peralatan yang hanya mengandalkan parang dan tombak serta ranjau Aceh yang menjadi senjata. Namun disisi lain Jean mangaku akan kehebatan Belanda dalam memilih tenaga perang takkan mampu dikalahkan masyarakat Aceh menghadapi senapan dan meriam perang.Â
Masyarakat Aceh mempunyai cara pandang berbeda berperang menggunakan secara khusus yang mengandalkan alamnya, kepercayaan telah berhasil mengalahkan kekuatan kompeni pada waktu itu. Hal itu membuktikan masyarakat Aceh telah membela apa yang menjadi haknya tanpa mengindahkan maut.
Seorang Panglima Aceh "Tjoet Ali" yang terus tetap mempertahankan ketahanan yang hanya mengandalkan ketinggian semangat pasukannya pada saat Aceh sudah terdesak jauh ke pedalaman dan selatam di daerah Takengon. Mereka tetap bertempur bukan hanya melawan kompeni tapi juga melawan kehancurannya mereka sendiri.Â
Dengan strategi yang dilakukan adalah Hubungan Lalu Lintas Kompeni yang jadi sasaran empuknya yakni: Jembatan, jalanan, kawat, kereta api, dan reelnya, peracunan air minum, serangan dadakan, ranjau bambu, penyergapan, penikaman tak terduga, dan pengamukan dalam tangsi menjadikan para jendral Belanda hampir tak mampu meneruskan operasi perangnya. Disisi lainnya, yang menjadi korban adalah kanak-kanak, wanita, lansia, orang sakit.Â
Saat itulah Jean Marais mulai belajar mengagumi hidup dan mencintai bangsa Pribumi yang menurutnya gagah perwira itu. Ia mulai menceritakan bagaimana bisa jatuh cinta dengan wanita asli Pribumi yang awalnya menjadi musuh baginya sehingga lahirlah anak gadis kesayangannya yang bernama May Marais itu. Â
Bagian 4
5 tahun sudah berlalu, Minke mulai beradaptasi dengan keluarga Mellema-Nyai Ontosoroh namun tetap waspada menurutnya, kehidupan keluarga Mellema sangat aneh dan seram. Setelah mengalami kgelisahan seperti yang dirangkum dibagian 2, Minke waktu itu saat kembali lagi ke rumah besar itu, nyatanya memang ditunggu kehadirannya, iya Annelis yang saat itu jatuh sakit karena kerinduannya terhadap Minke dan keadaanya pulih saat si Minke datang Annelis yang selalu ingin di didekatnya, sejak saat itulah Minke menetap di rumah Boerderij Buitenzorg.Â
Minke juga menjadi tempat curahan hati Annelis yang merupakan tamu pertama kali selama hidupnya. Ia menceritakan saudara laki-lakinya Robert Mellema yang mempunyai watak sangat membenci kehidupan pribumi, Robert dengan keteguhannya pada yang berbau Eropa. Berbeda dengan Annelis ia lebih mirip nurun ke ibundanya Nyai Ontosoroh yang asli pribumi.