Mohon tunggu...
Sofia Grace
Sofia Grace Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga

Seorang ibu rumah tangga yang hidup bahagia dengan suami dan dua putrinya. Menggeluti dunia kepenulisan sejak bulan Oktober 2020. Suka menulis untuk mencurahkan isi hati dan pikiran. Berharap semoga tulisan-tulisan yang dihasilkan dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Salah Asuhan (4 - Selesai)

2 Agustus 2022   17:27 Diperbarui: 2 Agustus 2022   17:39 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Minggu depan Mama kabari kepastiannya ya, Nak. Oya, apa kamu bisa transfer dulu uang tiketmu  buat pergi ke Singapore? Sekalian juga dengan uang sakumu. Biar Mama tukarkan dulu di money changer nanti."

"Beres, Ma. Habis ini Sonny transfer ke rekening Mama. Oya, itu suami Mama kok masih bertahan ya, meski sudah kena stroke? Habisin uang banyak dong, Ma."

"Tak terhitung banyaknya, Sayang. Limit asuransinya tahun ini sudah habis pula. Jadi banyak biaya terapi dan pengobatan yang harus ditanggung sendiri. Anak-anaknya menguasai sebagian besar harta si tua bangka itu. Mama cuma bisa pake sedikit-sedikit. Untung ini Mama masih bisa refreshing ke Singapore dengan alasan mau check-up. Padahal Mama sebenarnya sudah nggak tahan ngurusin orang tua itu. Mudah-mudahan dia segera mampus!"

Ya, Tuhan! jeritku dalam hati. Dimana hati nurani perempuan itu? Bisa-bisanya dia mengutuk suaminya sendiri seperti itu! Jangan-jangan dia juga melakukan hal yang sama pada anakku semasa hidupnya.... Waktu Rendy tidak punya uang dan terpaksa meminta padaku atau adiknya. Jangan-jangan sebelumnya Saskia juga memaki-makinya seperti itu!

"Tenang saja, Ma. Kalau Mama butuh uang, tinggal bilang saja sama Sonny. Setiap hari aku kan dikasih uang jajan sama Eyang. Terus aku sering minta lagi dengan alasan buat beli baju, celana, dan buku-buku  kuliah. Eyang kan sayang sekali sama aku, Ma. Permintaanku nggak pernah ditolak. 

Terus kalau Eyang dan Mbak Warni pergi keluar, aku sering masuk ke dalam kamarnya. Di dalam lemari bajunya ada laci kecil. Di dalamnya tersimpan uang yang setiap bulan ditransfer Om Thomas untuk keperluan Eyang. Kuambil sedikit-sedikit seminggu dua kali supaya nggak ketahuan, Ma. Hehehe.... Eyang kan sudah tua. Matanya sudah kabur. Ingatannya juga sudah lamur. Dia nggak sadar kalau uangnya sering kuambil diam-diam...."

Bajingan! umpatku dalam hati. Ini untuk pertama kalinya seumur hidupku memaki cucu kesayanganku itu. Hatiku hancur berkeping-keping. Kepalaku pening. Napasku terasa sesak. Tak kuduga aku telah memelihara seorang pencuri di rumah ini. Pencuri yang kuberi makan dan kulayani dengan baik selama ini. Benar-benar tega kamu sama eyangmu sendiri, Sonny!

"Pokoknya kamu harus berhati-hati ya, Nak. Jangan sampai ada yang tahu kita tak pernah putus hubungan sejak Mama bercerai dengan papamu. Kamu bisa diusir dari rumah itu. Terus siapa yang membayar biaya kuliahmu nanti? 

Juga biaya hidupmu? Suami Mama dan keluarganya pasti tidak mau menerimamu. Karena sebelum menikah dulu, Mama sudah berjanji tidak akan menjalin hubungan lagi denganmu ataupun keluarga papamu. Mama setuju saja karena kupikir si tua bangka itu tidak akan sepanjang ini umurnya. Eh, malah papamu duluan yang mati."

"Tapi kalau suami Mama mati, dia tetap meninggalkan warisan buat Mama, kan? Sonny minta bagian ya, Ma."

"Beres, Anakku Sayang. Hehehe.... Si tua bangka itu punya beberapa polis asuransi jiwa dengan uang pertanggungan yang fantastis. Dua di antaranya khusus diwariskan pada Mama. Nominalnya besar sekali. Lebih dari cukup buat membiayai hidup kita berdua nanti. 

Juga ada satu mobil dan apartemen mewah yang sudah atas nama Mama. Belum lagi perhiasan-perhiasan mahal. Biar saja aset-aset lainnya digerogoti anak-anak tua bangka itu. Mama nggak ambil pusing!"

"Semoga orang itu cepat mampus ya, Ma. Jadi Mama bisa punya harta sendiri dan Sonny bisa ikut Mama. Sonny bosan tinggal di rumah ini, Ma. Nggak pernah diajak jalan-jalan. Jadi Sonny main game terus setiap hari. Kuliah juga jenuh. Sudah satu bulan lebih aku nggak kuliah, Ma.

Tugas-tugasnya banyak. Capek rasanya. Kalau mau berhenti kuliah nanti takut dimarahi Om Thomas. Mau ganti jurusan juga takut nanti di tengah-tengah Sonny bosan lagi."

Di depan pintu kamar aku tetap diam tak bersuara. Tapi air mataku tumpah-ruah. Napasku tersengal-sengal. Aku terduduk di atas lantai. Ya Tuhan, inikah hukuman karena aku terlalu memanjakan cucuku? Dia ternyata tak lebih baik dari ayahnya. 

Bahkan jauh lebih buruk. Sebejad-bejadnya Rendy, tak pernah dia mencuri uangku dan diam-diam berkhianat di belakangku!

Sudah tak sanggup hati ini mendengarkan pembicaraan ibu dan anak yang sama-sama kejam itu. Rupanya aku dan Thomas selama ini hanya dimanfaatkan oleh Sonny. Rumah ini hanya dijadikan persinggahan sementara sampai ayah tirinya meninggal dunia. Setelah itu Sonny akan meninggalkanku untuk hidup bersama ibunya!

Punggungku bersandar pada dinding lorong. Mataku menatap kosong ke depan.

"Rendy, maafkan Mama telah melakukan kesalahan untuk kedua kalinya. Dulu Mama keliru  mendidikmu. Sekarang terulang kembali pada anakmu satu-satunya. Mama sudah letih, Nak. Kapan kamu datang menjemput Mama? Bawalah Mama menuju ke tempatmu berada sekarang, Anakku...."

Kupejamkan mataku rapat-rapat. Menunggu dijemput oleh putraku tercinta. Hidupku sudah tak ada gunanya lagi. Thomas kini hidup bahagia bersama keluarganya sendiri. Sedangkan Sonny akan segera meninggalkanku untuk tinggal bersama ibunya begitu si ayah tiri meninggal dunia. Aku akan hidup sebatang kara.

Akhirnya aku menyadari yang kulakukan selama ini sia-sia. Upayaku selama puluhan tahun memberikan kenyamanan hidup bagi Rendy ternyata berbuah kehancuran bagi dirinya. Dan hal itu akan terulang kembali pada Sonny. Malah Thomas yang tidak terlalu kupedulikan akhirnya menemukan kebahagiaan sejati bersama istri dan anak-anaknya.

Aku sungguh berdosa besar. Tapi jika waktu diulang kembali, aku pun tak yakin bisa melakukan hal sebaliknya. Barangkali itulah kelemahanku sebagai seorang ibu. Terlalu pilih kasih.

"Rendy, kenapa kamu belum juga menjemput Mama?" desisku lirih. "Mama sudah tak sanggup lagi hidup di dunia ini. Jemputlah Mama, Nak...."

Aku membuka mata. Sosok Rendy tak kelihatan. Air mataku mengalir deras. Apa yang harus kulakukan, Tuhan?

SELESAI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun