Mohon tunggu...
Sofia Grace
Sofia Grace Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga

Seorang ibu rumah tangga yang hidup bahagia dengan suami dan dua putrinya. Menggeluti dunia kepenulisan sejak bulan Oktober 2020. Suka menulis untuk mencurahkan isi hati dan pikiran. Berharap semoga tulisan-tulisan yang dihasilkan dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Syukur

23 Juli 2022   08:33 Diperbarui: 23 Juli 2022   08:41 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Horeee...Papa pulang!" seru Desy, putri bungsuku, ketika mendengar suara mobil berhenti di depan rumah. Bersama dengan Bunga, kakak perempuannya, disambutnya kedatangan ayah mereka dengan riang gembira. Begitulah adegan yang selalu terjadi pada setiap hari Jumat malam. Ketika Mas Pram, suamiku, pulang ke rumah setelah selama 5 hari bekerja dan tinggal di sebuah kota kecil yang jaraknya sekitar tiga setengah jam dari rumah kami di kota Surabaya.

Sudah tujuh tahun ini dia bekerja di luar kota. Kedudukannya sebagai manajer proyek perumahan kelas menengah di kota-kota kecil Jawa Timur membuatnya terpaksa tinggal jauh dari keluarga. Meskipun dirinya selalu menyempatkan diri untuk pulang ke rumah setiap hari Jumat malam dan berangkat ke kota tempat kerjanya pada hari Senin pagi, namun kami anak-istrinya selalu merasakan kehampaan sepeninggal dirinya.

Selama lima hari dalam seminggu aku berperan sebagai single parent, mulai dari mengantar-jemput anak-anak sekolah dan les, membantu mereka mengerjakan PR dan belajar untuk ulangan, merawat kedua buah hatiku sendirian ketika sedang sakit dan rewel, mengerjakan tugas-tugas rumah tangga seorang diri, dan lain sebagainya. Perasaan jenuh seringkali menghinggapi diriku. Belum lagi ditambah hasutan-hasutan dari ibu-ibu di taman kanak-kanak sekolah Desy yang kerap bercakap-cakap bersamaku waktu menunggui putri bungsuku itu pulang sekolah.

"Hati-hati lho, Nisa. Suamimu itu masih muda. Bertahun-tahun bekerja di luar kota apakah tidak membuatmu kuatir?" Begitulah ucapan-ucapan yang seringkali ditujukan kepadaku. Aku yang sejatinya tidak pernah meragukan kesetiaan Mas Pram, lambat-laun merasa jengah juga mendengarkan celotehan-celotehan yang tidak mengenakkan itu.

"Cobalah sesekali mengecek ponselnya. Barangkali ada pesan, foto, atau video yang mencurigakan. Juga periksa akun media sosialnya. Siapa tahu kamu menemukan petunjuk," saran salah seorang mama teman Desy di sekolah.

"Petunjuk apa?" tanyaku naif.

Mama-mama lain seketika tertawa terbahak-bahak mendengarkan kenaifanku. Aku tersipu malu, wajahku memerah. Ah, aku tidak ingin mencari petunjuk apapun. Sepandai-pandainya tupai melompat, toh bisa jatuh juga. Sepintar-pintarnya Mas Pram menyembunyikan rahasia dariku, kelak juga bisa terbongkar kalau Tuhan menghendaki. Tidak, tidak akan kuperiksa barang-barang suamiku demi menemukan hal-hal yang justru akan membuatku bersedih. Lebih baik kusibukkan diriku dengan melakukan kegiatan lain yang lebih berguna. Dan langkah awalku menuju kesana adalah dengan meninggalkan kerumunan ibu-ibu pengangguran yang hanya bisa bergunjing tidak jelas ini. Dengan sopan, aku beranjak bangkit berdiri dari tempat dudukku dan berpamitan dengan ibu-ibu itu. Aku beralasan harus segera pulang untuk menyiapkan makan siang dan menyeterika baju-baju harian yang menumpuk di rumah.

***

Lima belas menit kemudian tibalah mobil yang kukemudikan di depan rumahku yang mungil dan bercat serba putih. Aku memasuki hunian nyamanku ini dan segera menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga dengan cekatan. Setelah selesai, aku membersihkan tubuhku di kamar mandi dengan air dingin yang segar dan sabun cair yang harum semerbak.

Beberapa menit kemudian diriku sudah duduk dengan santai di sofa yang nyaman sambil membaca surat kabar, ditemani segelas cereal coklat hangat favoritku. Begitulah caraku menikmati me time setiap hari. Terasa lebih mendamaikan hati daripada bersama ibu-ibu di sekolah Desy pergi ke mal untuk berbelanja ataupun sekedar nongkrong. Bunga sudah duduk di sekolah dasar dan waktu belajarnya di sekolah lebih panjang, sehingga para orang tua murid sudah tidak lagi menunggui anak-anaknya di sekolah.

Tiba-tiba ada sebuah artikel di surat kabar yang menarik perhatianku. Judulnya Mantra untuk Bahagia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun