Di tengah arus digitalisasi yang kian deras, laptop telah menjadi simbol kemajuan dan jembatan menuju masa depan yang lebih cerah. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan berbagai organisasi sosial berlomba-lomba menyediakan perangkat ini bagi generasi muda dengan harapan meningkatkan akses mereka terhadap ilmu pengetahuan dan keterampilan abad ke-21. Namun, di balik semua niat mulia itu, sebuah ironi mengintai: ketika laptop yang seharusnya menjadi alat bantu pendidikan justru disalahgunakan, maka bukan hanya alatnya yang sia-sia, tetapi masa depan anak negeri pun ikut tercuri.
Laptop: Jendela Dunia atau Lubang Hitam?
Bagi banyak pelajar Indonesia, terutama yang tinggal di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), laptop adalah barang mewah. Kehadirannya seringkali menjadi simbol harapan bahwa mereka akhirnya bisa setara dengan pelajar di kota besar, bahwa mereka juga bisa belajar coding, menulis, merancang, dan menjelajahi dunia lewat internet. Tetapi, begitu laptop berada di tangan yang salah atau digunakan tanpa pengawasan, fungsi ideal itu dengan cepat berubah arah.
Laptop bisa jadi jendela dunia membuka akses terhadap informasi global dan peluang pembelajaran lintas batas. Namun, di sisi lain, ia juga bisa menjadi lubang hitam menyedot waktu, fokus, dan potensi generasi muda jika disalahgunakan untuk aktivitas tidak produktif seperti:
- Menonton konten hiburan secara berlebihan,
- Mengakses situs yang tidak sesuai usia,
- Bermain game online secara adiktif,
- Terlibat dalam praktik plagiarisme atau penipuan daring.
Studi Kasus: Ketika Bantuan Digital Disalahgunakan
Sejak pandemi COVID-19, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meluncurkan berbagai program bantuan digital seperti distribusi laptop untuk sekolah-sekolah di daerah. Namun, sayangnya, tidak semua distribusi ini diiringi dengan program literasi digital yang memadai.
Sebuah laporan dari daerah pedalaman Kalimantan menunjukkan bahwa beberapa siswa menggunakan laptop bantuan pemerintah bukan untuk belajar, melainkan untuk bermain game online dan menonton film bajakan. Bahkan dalam beberapa kasus, laptop tersebut dijual oleh keluarga karena alasan ekonomi.
Hal ini bukan semata kesalahan siswa atau orang tua. Ketidaktahuan akan pentingnya literasi digital, minimnya pengawasan, serta kurangnya infrastruktur penunjang seperti jaringan internet yang stabil dan guru yang terlatih membuat niat baik berubah menjadi bumerang.
Peran Orang Tua dan Guru dalam Menjaga Arah Penggunaan Teknologi
Pendidikan bukan hanya soal memberi alat, tetapi juga membekali dengan nilai dan etika. Orang tua dan guru memegang peranan penting dalam memastikan laptop digunakan sebagaimana mestinya. Tanpa bimbingan, anak-anak cenderung mengikuti naluri untuk mencari hiburan daripada ilmu.