Humaniora  |  Surat yang Tak Pernah Terkirim Sempurna
(Sebuah artikel semi cerpen, narasi lembut tentang dua sahabat yang menua di antara kenangan dan doa)
DikToko
(Soetiyastoko)
Di utara kota Bandung, kampung Titimplik Dalam --gang-gang sempit menjulur seperti urat nadi yang hidup --- berkelok, genit, dan sedikit seksi. Dinding rumah-rumahnya penuh warna pastel yang mulai pudar dimakan hujan, tapi justru di sanalah pesonanya bersembunyi. Sederhana, tapi memikat. Ini kampungnya perantau, kampungnya penimba ilmu.
Bau kopi hitam dari warung nyempil, bercampur dengan aroma tempe goreng yang baru diangkat dari wajan adalah nyanyian pagi. Sementara anak-anak kecil berlari sambil menyeret sandal jepit, menimbulkan bunyi yang khas --- _capak-capuk_, ritme kehidupan kampung yang tak pernah kehilangan semangatnya.
Di salah satu gang itu, tinggal Bang Soeti, lelaki asal Jawa Timur --ber es-em-a di Bogor, yang kini rambut kribonya telah memutih seperti abu sore hari.
Ia datang ke Bandung puluhan tahun silam --- kala masih muda dan penuh semangat, menempuh kuliah di Universitas Padjadjaran.
Saat itu Bandung baginya bukan sekadar kota, melainkan pelabuhan dari ribuan mimpi muda: cinta pertama yang kandas. Petikan gitar menggiring puisi-puisi mbeling di teras rumah. Hingga di warung goreng nangka , goreng nanas murah, bajigur dan pertemanan yang menembus batas daerah.
Salah satu kenangan yang masih membekas adalah tentang *Bang Idrus*, tetangganya dulu di rumah kontrakan gang sebelah, mahasiswa *Institut Teknologi Bandung* asal Pulau Bangka. Mereka berdua seperti dua kutub yang berbeda namun saling tertarik:
Bang Soeti --- puitis, jenaka, dan senang berdiskusi sambil menyeruput kopi,
sementara Bang Idrus --- rasional, cerdas, kritis, tapi punya tawa yang mudah menular.
Cekikikan dan kesenduan selalu bergulir menyaingi angkutan kota kembang.
Mereka sering duduk di teras rumah sambil memandangi lampu-lampu kota yang berkerlap dari kejauhan. Kadang membicarakan politik, kadang tentang gadis-gadis kampus yang berjalan di Dago, kadang sekadar berdebat soal siapa yang paling cepat lulus. Di seling kerinduan pada orangtua --bukan karena kiriman uang telat datang.
Waktu itu, dunia masih terasa luas dan tubuh masih tegak menantang hidup.