Humaniora  |  MENITI SUNGAI DIRI --- Catatan Liris di Lembah Bandung Utara
DikToko
(Soetiyastoko)
Pagi itu, embun masih setia menggantung di ujung-ujung ilalang yang tumbuh liar di kaki bukit. Langit Cikole, Bandung Utara sedang berpuasa warna dan dijaga barisan tinggi cemara.
Kompak tarian dibariskan sepoi angin.
Kelabu menggulung perlahan seperti selimut tua yang tak ingin lekas disingkap. Aku memulai perjalanan menyusuri tepian sungai kecil---yang mengalir sejuk dari punggung gunung, membelah lembah, dan mengucapkan bisikannya pada setiap batu yang ia lewati.
Air itu, bening namun kadang keruh. Seperti aku. Seperti hidupku.
Langkah demi langkah terus kutapak-jejakan. Kulepaskan alas kakiku. Ingin kurasakan dingin tanah itu menembus telapak, seolah bumi sedang menyentuh jiwaku dengan bahasa yang tak bisa ditulis manusia.
Di bawah langit muram itu, aku menyuarakan afirmasi lembut kepada diriku sendiri.
*"Kau boleh lelah, tapi jangan berhenti."*
*"Kau boleh takut, tapi tetap melangkah."*
Aku tahu, berkata positif kepada diri sendiri bukan berarti menolak kenyataan.
Bukan seperti menabur bunga di atas luka yang belum kering, atau seperti menyiram pohon mati dengan air doa tanpa pernah menggali akar masalahnya.
Positivitasku bukan tipu-tipu.
Bukan manis yang menutupi getir.
Bukan cahaya palsu di tengah badai yang mencabik-cabik, memaksa yang meronta-menolak.
Tapi seperti matahari pagi yang setia kembali meski semalam hujan deras menghapus jejaknya di cakrawala.
Aku berkata kepada diriku:
*"Kau belum sampai, tapi kau sedang menuju."*
*"Langkahmu kecil, tapi nyata."*
*"Hatimu rapuh, tapi masih mau percaya."*
Sungai itu mengajarkan sesuatu. Ia tidak pernah bertanya ke mana harus pergi, ia hanya tahu: ia mengalir. Ada kerikil mengadang, ia melompati. Ada batu besar, ia melingkari. Bahkan saat keruh, ia tetap berjalan. Dan dalam perjalanan itu, ia membersihkan dirinya sendiri.
Lalu aku menengadah, melihat bukit-bukit menghijau di kejauhan. Di sanalah tempat tujuan. Tapi bukan puncak yang kucari sebenarnya.
Bukan tinggi yang menaklukkan yang rendah.
Aku hanya ingin bisa terus berjalan.
Mendengar desah nafasku sendiri dan berkata,
*"Aku masih hidup, aku masih mencoba."*
Dan setiap afirmasi yang kukirimkan ke dalam jiwaku, seperti matahari yang mulai menyibak kabut pagi.
*"Kau tidak sempurna, tapi tidak apa-apa."*
*"Kau belum berhasil, tapi sedang belajar."*
*"Kau belum pulih, tapi sedang tumbuh."*
Aku bukan sedang berbohong kepada diri sendiri.
Aku sedang menghiburnya.
Membisikkan bahwa ada harapan yang menunggu di tikungan berikutnya.
Di antara lembah dan kabut itu, aku berjalan. Sesekali kupejamkan mata, membiarkan angin menyentuh wajahku dan menyampaikan pesan dari langit:
*"Lanjutkan, meski pelan. Tak apa-apa tertinggal. Asal tak menyerah."*
Karena bagiku, mengatakan hal-hal baik kepada diri sendiri adalah seperti menyalakan lentera kecil di dalam dada. Tidak terang benderang, tapi cukup agar aku tak sepenuhnya tersesat.
Kesimpulan:
Dalam perjalanan hidup, sering kali yang paling kita butuhkan bukanlah sorak-sorai dari luar, tapi bisikan lembut dari dalam. Afirmasi positif bukanlah kebohongan manis, melainkan pupuk bagi semangat yang nyaris layu.
Menjadi baik kepada diri sendiri bukan kelemahan. Itu keberanian.
Dan melangkah pelan bukan kekalahan. Itu proses menuju kekuatan.
Saran:
Teruslah berkata baik kepada dirimu sendiri. Tapi biarkan setiap kata baik itu mendorongmu untuk bergerak, bukan tidur dalam mimpi kosong. Jangan hanya berkata "aku bisa," tapi tambahkan: "maka aku akan mulai hari ini."
Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri."
(QS. Ar-Ra'd: 11)
Dan dalam Hadis Qudsi:
"Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Maka, mari berprasangka baik, tidak hanya kepada Tuhan, tapi juga pada diri sendiri.
Karena kau layak untuk tumbuh.
Meski pelan.
Meski sendiri.
Mengalir dalam tulisan yang membasuh jiwa-jiwa dahaga --yang ingin tetap melangkah lurus --menuju ridho-Nya ...
Aamiin ...
_________
Di atas tempat tidur -jauh dari rumah sendiri, Senin jelang senja, 28/07/2025 17:29:05
Hanya senandung lirih dan dengung mesin cuci -mencuci rindu, agar kembali riang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI