Humaniora  |  MENITI SUNGAI DIRI --- Catatan Liris di Lembah Bandung Utara
DikToko
(Soetiyastoko)
Pagi itu, embun masih setia menggantung di ujung-ujung ilalang yang tumbuh liar di kaki bukit. Langit Cikole, Bandung Utara sedang berpuasa warna dan dijaga barisan tinggi cemara.
Kompak tarian dibariskan sepoi angin.
Kelabu menggulung perlahan seperti selimut tua yang tak ingin lekas disingkap. Aku memulai perjalanan menyusuri tepian sungai kecil---yang mengalir sejuk dari punggung gunung, membelah lembah, dan mengucapkan bisikannya pada setiap batu yang ia lewati.
Air itu, bening namun kadang keruh. Seperti aku. Seperti hidupku.
Langkah demi langkah terus kutapak-jejakan. Kulepaskan alas kakiku. Ingin kurasakan dingin tanah itu menembus telapak, seolah bumi sedang menyentuh jiwaku dengan bahasa yang tak bisa ditulis manusia.
Di bawah langit muram itu, aku menyuarakan afirmasi lembut kepada diriku sendiri.
*"Kau boleh lelah, tapi jangan berhenti."*
*"Kau boleh takut, tapi tetap melangkah."*
Aku tahu, berkata positif kepada diri sendiri bukan berarti menolak kenyataan.
Bukan seperti menabur bunga di atas luka yang belum kering, atau seperti menyiram pohon mati dengan air doa tanpa pernah menggali akar masalahnya.