Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... Penulis - ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Diary | JNE, Kiriman Sachet Bekas Itu, Bermanfaat

27 Januari 2022   06:37 Diperbarui: 27 Januari 2022   06:38 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Diary  | JNE, Kiriman Sachet Bekas Itu, Bermanfaat

Soetiyastoko

Aku benar-benar marah, mendengar jawabannya. Tapi aku harus menahan diri, jangan sampai keluar nada tinggi. Apalagi maki-maki.

Tanganku terkepal keras, menahan geram, yang, ingin menghujam kewajahnya. Tapi, tidak ! Ini betul-betul liar, marah-ku. Siap terjang apa saja. Sedang harga diri, harus kujaga. Tak boleh merendahkan diri, dengan tak terkendali.

Aku harus ingat, aku harus sadar. Banyak atribut lekat yang harus ditegakkan wibawanya. Tak boleh sembarangan bersikap.

Dia bilang ini soal kecil. Soal remeh-temeh, tak seharusnya aku datang. Mengusut soal beginian. Memalukan katanya.

Aku datang, baik-baik. Berkata baik-baik, ... Eee, eee, justru dia yang mengkuliah-i aku. Jari-nya, menunjuk-nunjuk, hingga satu senti dari ujung hidung-ku.

Belum lagi sudut bibirnya yang menghujam lantai. Merendahkanku.

Padahal aku ini, pelanggan kiosnya yang sepi. Kupilih jasanya, karena kasihan. Karena dekat rumah, karena anaknya satu sekolah dengan anakku. Intinya ingin menolong, membantu.

Katanya, anaknya yang teman anakku itu tak boleh ikut ulangan. Iuran bulanan telat 5 bulan. Anakku yang membayarkannya dari tabungan.

Hikmah apa yang jadi pelajaran, dari hidungku yang ditunjuk-tunjuk. Telinga-ku ditusuk-tusuk kalimat, penuh warga kebun binatang dan isi cubluk.

Paru-paru-ku, ku-isi penuh-penuh. Sampai tak ada yang bisa kujejalkan lagi.

Pelan-pelan kuhembuskan, diiring istiqfar. Astaqfirullah, astaqfirullah, astaqfirullah, ...

Suaranya makin tinggi, temponya makin cepat, wajahnya tampak beringas. Ketika kalimatnya, kucoba sela.

Dia bilang, "itu cuma sampah. Sampah. Kenapa saya harus menyimpan sampah ?!" Ludahnya muncrat, sudut-sudut bibirnya kini berbusa.

Kali ini, aku tak peduli, dia dengar atau tuli, nada-ku terpaksa mengimbangi.

"Benar, Pak .... dus-dus paket itu isinya sachet bekas bungkus kopi. Tapi adik saya yang mengirim dari Jakarta itu, sudah bayar lunas biayanya. Bahkan dengan tarif kilat, ..."

Kucoba  untuk tenang, lalu kuteruskan,

"Semua itu, demi anak-anak kampung kita di sekolah, belajar memanfaatkan limbah, sekaligus hasilnya dikumpulkan ke usaha UMKM, ...".

Aku ambil nafas panjang lagi

"Bapak pasti juga sudah tahu, ... Barang-barang karya anak-anak itu dijual dikios-kios dekat air terjun. Lokasi wisata yang baru dikembangkan di kampung ini".

Aku tak peduli dia ngomong apa, aku terus ngomong lagi.

"Bapak harus tahu, barang kerajinan bekas sachet kopi itu, Termasuk hasil si .... " , kusebut nama anaknya, ....

Mereka akan terus belajar dan memproduksi berbagai anyaman. Membuat tas, membuat tikar, membuat vas bunga serta pernak-pernik lainnya. Hasilnya, lumayan, untuk beli buku bacaan bersama.

Mendengar itu, dia mereda. Orang-orang sudah banyak berkerubun di depan kios itu. Entah kapan mereka mulai berdatangan.

Aku, malu. Meski suaraku tak meledak-ledak, telah meladeni orang yang levelnya di bawahku. Tapi mau dikoreksi bagaimana lagi. Sudah terjadi.

Yaa Gusti, terima kasih, Kau kuatkan aku, hingga bisa menahan diri. Menahan tanganku, agar tidak nimbrung bicara.

Masalahnya, 5 dus besar yang dikirim adik-ku itu, hasil mengumpulkan dari para penjual kopi panas. Mereka yang ngider jalan-jalan kota besar.

Adik-ku datangi mereka satu-satu, dia jelaskan maksudnya. Tidak gratis, dia ganti upah pengumpulan sachet bekas itu. Demi ingin jariah dan membantu anak-anak dikampungku. Belajar prakarya, memanfaatkan limbah, menghasilkan uang.

Di kampung kami yang berdebu saat kemarau dan becek berlumpur kala penghujan, sulit untuk bisa mengumpulkan sachet bekas kopi.

Itu barang mewah, kopi sachet barang mahal dikampungku. Kami, ngopi, kopinya dari kebun. Tanaman kami sendiri.

Kalian, tahukah, mengapa kudatangi agen ekspedisi itu ? Aku hanya ingin menanyakan keberadaan paket-paket itu. Mestinya mereka amanah, memegang janji. Apapun isinya, harus dijaga dengan baik.

Bukankah perusahaan ekspedisi mereka sudah menyanggupi dan tahu isinya.

Bahkan, ... Ongkos kirim paket-paket itu, oleh adikku sudah dibayar dimuka. Sudah lunas. Aku jadi mengulang-ulang.

Ketahuan, deh, .... aku sudah emak-emak.

***

Sampah, kata mereka.

Katanya sudah dua kali, diantar kerumahku. Tapi rumahku kosong. Jadi dibawa lagi kekios ekspedisi.

"Bikin sempit" , kata bos itu. Sebelum menyuruh buang dan dibakar.

Kurir-nya, minta maaf, setelah tahu, bos-nya marah-marah tak karuan kepadaku. Bos-nya memang salah, kata dia. Bawaanya angot-angotan. Kalau ada pekerjaan lain, pasti sudah saya tinggalkan. Sambungnya.

Kurir itu, meminta aku memaafkan pimpinannya.

***

Semua ini salahku, kenapa adikku yang telah berbaik hati, membantu. Tidak kuminta kirimnya pakai jasa paket kurir JNE.  Justru kuminta, pakai jasa yang lain.

Ekspedisi yang abal-abal, tak mengerti bagaimana melayani. Tak bekerja dengan hati. Hanya karena pertimbangan "kasihan" dan hasrat ingin menolong saja.

Benar, kata pembicara di mimbar jumat malam dulu.

"Terkadang orang yang dibantu, ditolong. Malah sombong bahkan menyakiti yang menolong, .... bukan bersyukur, ...."

Sikap-sikap yang tak sepatutnya itu, janganlah membuatmu -terdikte- jadi merasa sakit hati. Begitu lanjutan ceramahnya.

"Ikhlaskan saja, tak patut dijadikan beban, ..."

***

Akibat mendengar curhat-ku  yang panjang kali lebar, tentang kesulitan mendapatkan sachet bekas. Saat kami bicara ditelepon. Adikku langsung berjanji akan membantu, mencarikannya

Saat itu seharusnya ekspedisi yang kuminta yang bonafide. JNE, misalnya. Tapi nyatanya bukan JNE yang kumintakan, pada adikku.

Lagi-lagi aku mengulangi, dasar emak-emak. Tolong, dimaklumi yaa, pembaca yang  cantik-ganteng, bijaksana dan baik hati. Aamiin, ... Ayo, aminkan, ...

Yaa. Begitu'kan keren. Terima kasih.

***

"Paket !. Paket, bu, ....!"

"Yaa !. Tunggu sebentar, ... !"

Kukenakan jilbabku, sebelum membuka pintu.

Alhamdulillah, ...

Blindvan bertuliskan JNE, parkir di depan rumahku. Di jalan berdebu itu.

Dus-dus besar isi sachet bekas kopi sudah sampai, kali ini adikku pakai jasa JNE Super Speed. Demi anak-anak kampung terus bisa memproduksi anyaman tas, tikar dan produk unik lainnya.

Gurunya itu hebat, muda-cantik, dari kota. Mau ditugaskan di sini. Mendukung tumbuhnya UMKM yang memanfaatkan limbah. Dia salah satu pembinanya di sini. Termasuk melatih ibu-ibu yang bekerja di rumahnya, berproduksi barang kerajinan untuk UMKM di kampungku.

Dia riang, bersama murid-muridnya, mengangkati dus-dus besar dari rumah ndeso-ku.

Terima kasih, dik, kirimanmu lewat JNE, bermanfaat.

***

JNE31tahun,
JNEMajuIndonesia
#jnecontentcompetition2021

Jalan Mangga Raya, Blog AG, sepi. Selasa 26 Januari 2022,
Menunggu waktu Dhuhur, langit mendung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun