Mohon tunggu...
Soesi Sastro
Soesi Sastro Mohon Tunggu... Penulis - Praktisi Sosial dan Lingkungan

The secret of change is to focus all energy not on fighting the OLD but on building the NEW

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kelambu, Forest In The City, The City In The Forest

18 Oktober 2015   14:34 Diperbarui: 20 Oktober 2015   23:11 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kegiatan membangun dan membangunkan penghijauan kota, menanam tanaman langsung ditanah, kalau perlu tidak usah membangun pot-pot bunga berbahan beton cor ditengah jalan yang berderet seperti yang ada di sepanjang jalan Depok. Selain mahal, biayanya mungkin bisa diirit untuk membeli pohon dari petani-petani pohon yang ada. Pemilihan jenis pohon juga perlu menjadi perhatian. Bahasa arsitektur tatakota dengan bahasa kehutanan dalam pemilihan jenis-jenis pohon mungkin saja berbeda. Apa yang dinilai arsitek kota termasuk pohon indah, keren, dan berseni belum tentu dari sisi ekologi sesuai di tempat tersebut. Hal-hal sepele remeh temeh begini penting untuk menghasilkan tanaman atau pohon yang kuat dan tahan lama di dalam kota. Di pojok kota Bogor sepanjang jalan Ahmad Yani misalnya masih banyak pohon-pohon rindang yang kokoh sepanjang jalan.

Bukan hanya sekedar forest in the city (hutan di dalam kota) tetapi lebih luas saya berharap kota-kota di negeri ini menjadi the city in the forest (kotanya ada di dalam hutan). Tidak perlu ke hutan kalau mau lihat hutan, di kota juga ada hutan kok, siapa dulu Presidennya. Begitu barangkali bangganya warga ketika kelak ini bisa diwujudkan pemerintahan presiden lulusan fakultas kehutanan itu.

Sebut saja kota-kota seperti Atlanta di USA, Kiev di Ukraina yang berkonsep the city in the forest, Jerman bagian selatan, Delhi juga mulai bergerak ke green city di antara kota-kota besar India lainnya dan kota-kota lain di dunia yang terus berbenah meninggalkan dunia industri. Bahkan saya mendengar dari beberapa teman di Seoul Korea Selatan, harga tanah di luar kota yang dekat dengan hutan cenderung lebih mahal daripada tanah-tanah di dalam kota. Entah iya entah iya.

Gaya hidup green city mulai harus dijalarkan dimana-mana oleh pemerintah, dan para pemangku kepentingan lainnya. Orang harus mulai dibuat bangga back to nature, bergengsi berwisata ke Raja Ampat, Derawan, Bukittinggi, Tomini, Tanjung Lesung, Tanjung Papuma, menyusur desa-desa sekitar Pakem, Kaliurang, Imogiri dan menikmati makan-makanan tradisional, ndeso dan alami tanpa bahan pengawet yang terbukti menyehatkan dan anti kanker. Dan trend seperti ini sudah mulai tampak. 

Tidak sulit-sulit amat (sepertinya) tim pemerintahan Jokowi wujudkan ini. Sebelum terlanjur Kabupaten membuat perda-perda yang aneh-aneh karena mengatasnamakan ekonomi dan otonomi, sebenarnya bisa dibuat aturan mandatory tingkat Kabupaten tentang luas minimal tutupan pohon pada sebuah wilayah (under tree cover).

Apalagi untuk Kecamatan dan Kabupaten pemekaran yang bangunan gedungnya besar megah perlu diimbangi dengan aturan areal tutupan pohon atau hutan kalau bisa minimal 30 persen misalnya. Jangan sampai bangunan megah tersebut justru menjauhkan rakyat dari pelayanan yang seharusnya diberikan pemerintah pada warganya. Jangan sampai warga harus lepas sendal atau menunduk-nunduk bila masuk ke kantor Kecamatan yang megah, karena saking bangganya orang-orang itu menjadi pejabat teras daerah.  Sudah tidak jaman lagi di era sekarang, sudah kuno.  

Kemudian, stop konversi lahan sawah atau lahan hutan ke bangunan-bangunan atas nama apapun. Bila saja sawah-sawah, ladang, pohon-pohon itu bisa bicara, mereka sebenarnya sudah berteriak, takut pada aturan manusia, takut ditebang, takut dibakar, takut dimatikan.

Lalu segera saja implementasikan aturan penggunaan biodiesel 20% untuk industri yang pernah dijanjikan. Ini akan menggairahkan dunia persawitan Indonesia, karena minyak crude palm oil (CPO) bisa juga diserap untuk kebutuhan energi terbarukan dan tidak semata-mata untuk bahan baku minyak goreng yang jumlahnya juga tentu terbatas dibandingkan kebutuhan energi.

Banyak cara berpihak pada rakyat melalui praktek-praktek praktis seperti ini. Jokowi pastilah sangat berpihak pada rakyat kecil tetapi mungkin aturan hukum, aturan administrasi negara, dan mekanisme pemerintahan yang ada kurang mendukung. Kenapa tidak ubah aturan ini itu, mungkin itu anggapan sementara pihak. Tentunya tidak segampang itu buat pemerintah. Tidak segampang kerja para komentator, misalnya komentator sepakbola yang handal bicara itu belum tentu handal bila diminta turun main dalam tim. 

Apapun yang sudah dicapai pemerintahan selama satu tahun ini, kita tentu berharap Indonesia kedepan akan semakin baik lagi. Termasuk untuk mewujudkan forest in the city, the city in the forest, kenapa tidak dimulai dari lingkungan sendiri. Kalau tidak ada lahannya ya pasti ada cara lain.

Di sela nulis, teman saya yang penakut ulat bulu nyeletuk, 'walah kalau bener terwujud Forest In The City dan The City In The Forest nantinya, selain akan lebih banyak lagi wisatawan datang ke Indonesia, hidup akan lebih segar ya, hijau di mana-mana, mungkin di kota bakalan banyak binatang buas berkeliaran juga, belum lagi susah tidur karena banyak nyamuk'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun