Para tuan tanah dan tengkulak sepertinya mendapatkan porsi keuntungan yang berlipat-lipat kali lebih besar dari pada sang petaninya sendiri. Margin keuntungan yang mereka dapatkan tidak terpengaruh oleh turunnya harga gabah dipasaran. Yang menanggung semua beban kerugian akibat mahalnya ongkos produksi dan harga gabah yang murah tetap saja petani, bukan si tuan tanah apalagi sipemilik modal.
Belum lagi, harga gabah dipasaran hampir selalu anjlok saat musim panen tiba, padahal disisi lain biaya produksi beras hari ini terus meningkat dari tahun ke tahun.Â
Menurut anda siapakah kira-kira yang salah sehingga realita ini ada?Â
Siapakah yang paling layak harus bertanggung jawab terhadap fenomena tersebut, kita atau pemerintah?
Sebagai bahan renungan, cobalah sekarang anda tanyakan kepada anak-anak usia sekolah dikampung anda yang orangtuanya berprofesi sebagai petani padi, pernahkan mereka pergi kesawah untuk membantu orang tua mereka?Â
Jangan lupa tanyakan juga apa cita-cita mereka. Mungkin jawaban mereka akan menggambarkan apa yang akan terjadi 30 atau 40 tahun yang akan datang.
Belum lagi persoalan lahan pertanian yang semakin hari semakin berkurang, padahal manusianya terus bertambah. Pembangunan perumahan dan pembangunan kawasan industri adalah aktor utama dibalik semakin menyempitnya lahan pertanian.
Lalu dimanakah pemerintah?
Apakah mereka sadar akan hal ini?
Secara pribadi penulis sangat mendukung program maritim pemerintah yang sedang di nomor satukan saat ini, tapi pemerintah juga harus sadar bahwa para nelayan juga makan nasi.
Budaya dan tradisi bangsa ini sudah mengajarkan bahwa nasi lah yang menjadi makanan pokok kita, bukan ikan, seberapa luaspun lautan kita. Jadi meskipun lautan kita diekplorasi habis-habisan oleh pemerintah, mereka juga tidak boleh lupa akan daratan (pertanian).
Perlu kita pertanyakan juga, apakah kontribusi lembaga-lembaga pendidikan yang bergerak dibidang pertanian sudah sesuai dengan apa yang diharapkan secara riil dilapangan?Â