Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budidaya Lelaki

23 Maret 2010   14:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:14 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_100781" align="alignleft" width="300" caption="Hanya agar kita melihat kembali, benarkah kita lelaki sudah sebenarnya menunjukkan diri sebagai lelaki? (Gbr: Google)"][/caption] Maaf kepada saudara-saudaraku sesama jenis. Saya harus mempergunakan kata budidaya yang sedikit mengesankan ketidakenakan untuk dibaca. Karena mungkin, saat membaca kata "budidaya" disandingkan dengan lelaki, pikiran anda akan terasosiasi dengan budidaya lele dumbo, budidaya gurami, budidaya ternak dan sebagainya. Memang jika berkesimpulan untuk mengsomasi saya sah-sah saja. Karena mungkin penggunaan satu kata itu dinilai melecehkan banyak orang-orang terhormat di dunia. Bayangkan saja, di seluruh dunia yang menjadi pemimpin negara umumnya kaum lelaki. Yang menjadi pemuka agama juga lebih banyak lelaki. Ups, sebentar, jangan meminta saya untuk keluarkan bukti berdasar riset dari mana. Sebab, untuk menunjukkan bahwa pemimpin negara, pemimpin agama lebih banyak dikuasai lelaki tidak perlu riset dengan serius. Rajin-rajin saja baca koran setiap pagi sudah cukup menjadi sebuah alat riset untuk melihat hal itu dengan jelas. Pun, saya minta ampun pada kaum perempuan jika saya menyebut orang-orang terhormat lebih banyak dari kaum lelaki. Tidak ada niat untuk bermain-main di wilayah sensitif gender. Tetapi saya harus bicara ini karena memang melihat betapa kaum lelaki sekarang ini masih menyepakati, kendati tidak ada konsensus atau konvensi internasional tentang itu, bahwa kaum lelaki banyak yang ingin menjadi penentu hitam putih nasib istrinya, nasib anak-anaknya. Terkait ini, anda [caption id="attachment_100792" align="alignright" width="241" caption="Jika lelaki, jadilah sebenar lelaki. Demi istri dan buah hati (Gbr: Google)"][/caption] kaum perempuan yang bisa bekerja mandiri jangan mencoba bandingkan diri anda dengan perempuan yang ingin saya ceritakan. Sebab jelas, perempuan yang saya maksudkan bukanlah perempuan yang sedang memiliki nasib seberuntung anda. Tetapi, nah ada tetapinya lagi sedikit (juga jangan perdebatkan dulu soal penggunaan Bahasa Indonesia saya yang terkadang bergeser dari teori-teori EYD), saya ingin mengajak untuk membandingkan dengan sekian banyak perempuan yang tidak berdaya yang berada di banyak belahan negeri. Dari Sabang, Merauke bahkan Pulau Rote. Disebabkan banyak lelaki yang masih begitu bergagah ria menunjuk dada sebagai penentu nasib perempuannya, sampai tidak sedikit perempuan yang harus memukuli anaknya untuk meluapkan kemarahan oleh sebab suaminya untuk belanja makan siang dan makan malam saja tidak bisa dipenuhinya. Sedangkan saat mereka ingin mencari nafkah sendiri, baik sebagai buruh cuci, sebagai pengasuh bayi, atau bahkan menjadi TKI, nantinya malah mereka akan menerima sorot mata yang tidak mengenakkan. Dituduh ini, dituduh itu. Bahkan suaminya sendiri kerap melemparkan caci maki untuk sang istri. Jangan tanya soal nurani lagi. Wah, maaf saya kok jadi berpuisi akhirnya. Tetapi memang, soal perempuan di negeri ini belum begitu banyak dibicarakan. Memang ada banyak sekali LSM yang bergerak dalam bidang pemberdayaan perempuan. Tapi maaf, tidak ada maksud menuduh, apalagi saya sendiri saya sendiri juga pernah bergiat di lembaga-lembaga seperti itu, bahwa memang sekarang LSM itu lebih banyak bergerak sekedar untuk menarik perhatian funding agar bisa mengucurkan dana yang sebanyak-banyaknya, sedangkan implementasi yang lebih berpihak pada pemberdayaan perempuan masih jauh panggang dari api. Dan ini bukan basa-basi, dan ini juga bukan tulisan untuk sebungkus nasi. Kok jadinya saya bicarakan perempuan? Jelas,  sekalipun belum tersepakati jelas, lelaki masih menjadi penentu atas nasib sekian juta istri. Sedang para lelaki untuk sebungkus nasi saja pada hari ini tidak lagi kuasa ia cari. Mana lagi harus bicara pendidikan anak, pakaian anak, kesejahteraan keluarga dan sebagainya. Maka saya kira perlu adanya semacam kesepakatan untuk adanya institusi Pemberdayaan Lelaki. Lha, kok saya memilih judul tulisan dengan Budidaya Lelaki? Aduh, maaf, jangan direpotkan dengan judul. Renungkan saja yang sudah saya obrolkan disini, siapa tahu menginspirasi dan nanti anda bisa menjadi lelaki sejati yang tidak perlu terlalu banyak berbasa-basi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun