Banyak yang meremehkan keberadaan bandar udara (bandara), hingga muncul ungkapan semacam, "Rakyat tidak buruh infrastruktur." Membuat saya terbayang ke daerah saya sendiri, Aceh. Saat harus bepergian mesti menghabiskan waktu hingga lima atau enam jam hanya untuk bisa mencapai bandara, bagi yang ingin menempuh perjalanan udara.
Bisa dibayangkan, jika untuk ke Jakarta saja membutuhkan waktu di udara hampir tiga jam, harus lebih dulu menghabiskan waktu lima-enam jam untuk bisa sampai ke bandara. Praktis, sembilan hingga 10 jam mesti dihabiskan, hanya untuk bisa menikmati perjalanan udara.Â
Ada bandara alternatif, yakni Bandara Kuala Namu di Sumatra Utara, namun untuk ke sini pun membutuhkan waktu hingga 15-18 jam lewat darat. Ada bandara kecil yang jadi penghubung Aceh Barat-Nagan Raya dengan Sumut, Bandara Cut Nyak Dhien, namun tak selalu ada sebagaimana Bandara Iskandar Muda di Banda Aceh atau Kuala Namu di Sumut.
Bayangan fakta itu juga yang berkelebat ketika belakangan ini banyak yang mencibir keberadaan Bandara Kertajati di Jawa Barat. Sebuah cibiran, yang saya kira, karena mereka menutup mata atas fakta bahwa provinsi itu memiliki penduduk terbesar di Indonesia, ditambah dengan Jawa Tengah yang juga memiliki populasi tinggi--sebagian berdekatan dengan Jawa Barat.
Kecenderungan itu, meremehkan keberadaan infrastruktur, saya pikir karena memang masih banyak yang menganut pandangan Jakartasentris atau Jawasentris. Banyak yang merasa bahwa di Jawa hampir segalanya ada, maka itu juga telah ada di daerah-daerah luar Jawa.
Di sinilah saya pikir bahwa Presiden Joko Widodo punya sudut pandang lain dalam melihat, kenapa infrastruktur sejak awal telah menjadi perhatian besarnya. Sebab ia sudah melihat bagaimana adanya ketimpangan besar antara apa yang telah didapat oleh Pulau Jawa dan sejauh apa yang telah didapat daerah-daerah luar Jawa.Â
Kacamata Jakartasentris atau Jawasentris sama sekali tidak tepat digunakan untuk melihat daerah-daerah lain. Jokowi, di sini, terlihat juga berpandangan begitu, makanya ia hampir setiap pekan berkeliling ke berbagai daerah di luar Jawa. Sebab dengan itulah ia bisa lebih dekat dan memahami apa sesungguhnya yang menjadi persoalan daerah-daerah non-Jawa.Â
Kertajati dan infrastruktur lain yang sudah dibangun, jadi bahan cemoohan Prabowo dan kubu di belakangnya, karena mereka belum mampu melihat manfaat dari keberadaan penunjang mobilitas masyarakat tersebut.Â
Kenapa bisa seorang calon presiden seperti Prabowo bisa memiliki kecenderung sebagai pencemooh begitu? Tidak lain, dalam hemat saya, karena ia sendiri dipenuhi ambisi untuk bisa memburu kekuasaan, sehingga tidak mampu mencium apa yang menjadi kebutuhan rakyat sebenarnya.
Celakanya, Sandiaga Uno sebagai calon wakil presiden yang mendampingi Prabowo pun setali tiga uang. Itu diperlihatkannya, tak terkecuali di ajang debat yang berlangsung Minggu (17/3/2019).Â