Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pak Capres Tajir Mestinya Tidak Perlu Mencibir

26 November 2018   20:18 Diperbarui: 26 November 2018   20:39 891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saat pekerja ojek online melakukan protes keras - Foto: Jatimnow.com

Hanya yang pernah masuk ke tengah-tengah orang susah yang bisa memahami perasaan orang susah. Cuma orang yang pernah merasakan kesulitan yang bisa merasakan kegetiran mereka yang kesulitan. Kecenderungan ini tidak berlaku hanya mereka yang terbiasa hidup di kalangan ningrat, elite, atau keluarga berstatus sosial kelas atas, namun terbiasa dididik untuk berempati pada "dunia lain" yang ada di luar dunianya sendiri.

Kalimat ini berkelebat di pikiran saya saat menyimak beberapa pekan terakhir muncul pernyataan demi pernyataan dari seorang calon presiden (Capres). Sebut saja namanya Bunga. 

Bukan, itu gaya koran lampu merah saat bercerita tentang pemerkosaan dengan begitu semringah. Siapa figur saya maksud, pasti Anda sudah tahulah.

Apa yang saya sebut di awal tulisan, sama sekali bukan tentang Bunga, yang entah bagaimana menjadi sebutan idola sebagian media lampu merah. Namun ini memang ada kaitannya dengan kalangan yang acap merasa berbunga-bunga tiap berbicara tentang kekuasaan.

Mereka bisa berbicara tentang orang susah, namun dari kecil hampir tak pernah merasakan bagaimana kesusahan itu sebenarnya. Hidup di keluarga kaya, bisa menyicipi pendidikan di luar negeri, dan hampir bisa dipastikan tak pernah punya teman akrab dari kalangan rakyat jelata. Ya, paling hanya beberapa pembantunya saja yang pernah akrab dengannya, entah sopir atau sekadar mereka yang dipercayakan mengurus kudanya.

Itu juga, bagaimana kehidupan sopir dan para pengurus kuda, apakah mereka semua mendadak sejahtera karena "kedekatan" dengan orang yang tadi saya sebut Bunga, eh Capres? Masih tanda tanya. 

Tidak banyak cerita tentang rakyat jelata yang pernah bekerja bersamanya, karena yang sering dimunculkan hanyalah figur yang masih penasaran tadi. Ya, penasaran, kok rajin mengikuti Pilpres, tak pernah menang sama sekali. Ngapain ia ikut pencapresan melulu, membuang duit triliunan, dan cuma memunculkan keributan saja di mana-mana.

Padahal kalau saja duit triliunan tadi digunakan untuk membantu permodalan orang-orang di sekitarnya, kampung terdekat tempat tinggalnya, atau provinsi di mana ia tinggal, sangat dapat dibayangkan ada berapa banyak yang akan tertolong, kan? Apalagi ini sudah berkali-kali mengikuti Pilpres, berapa triliun terbuang hanya untuk bersujud syukur merasa menang dengan hitung-hitungan buatan kalangan sendiri?

Ah, maaf, saya malah jadi rakyat jelata yang begini rewel. Tapi kerewelan saya sebagai rakyat jelata ini juga tidak lepas dari sinyal juga bahwa tampaknya Capres ini memang tidak benar-benar mengejar kekuasaan untuk rakyat. Sebab kalau saja ia meniatkan kekuasaan untuk rakyat pastilah jauh-jauh hari menunjukkan dedikasinya untuk rakyat, meskipun ia tidak berada di kursi kekuasaan. Sedangkan kekuasaan itu sendiri, jika saja rakyat melihat bahwa ia memang mengabdikan diri untuk rakyat, tanpa menyodorkan diri pun pastilah akan dipaksa untuk berkuasa.

Toh, rivalnya sendiri sudah membuktikan itu. Hanya tukang kayu, dengan pekerjaan sehari-hari lebih banyak berurusan dengan kayu dan meubel, hampir tak perlu berkeringat banyak untuk bisa bertempat di kursi kekuasaan. Kenapa tukang kayu ini lebih mudah meraih kekuasaan, meski baru sekali ikut Pilpres dan terbilang masih hijau dalam urusan copras-capres, karena rakyat sudah melihat bahwa orang ini bukan berkuasa untuk disebut penguasa, atau supaya berada di atas ratusan juta orang di negeri ini, tapi untuk bisa bersama-sama mereka membawa negeri ini ke arah diinginkan sama-sama.

Tukang kayu ini bisa berpikir, berbicara, dan bertindak, tanpa perlu melukai siapa-siapa. Ia bisa berseloroh, tertawa, dan bercanda selayaknya masyarakat biasa. Sebab ketika ia berkuasa pun, ia tidak menunjukkan kesan bahwa dirinya berada di atas "masyarakat biasa" tadi. Ia bisa memahami pikiran orang susah, bisa memahami kesulitan orang kesulitan, dan mengetahui bagaimana mendekati mereka. Mengajak bicara mereka secara sejajar, tanpa berlagak seperti majikan dengan orang yang dianggap pekerja rendahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun