Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Guru, antara Beban Besar dengan Penghargaan Kecil

25 November 2017   13:22 Diperbarui: 25 November 2017   14:58 806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mereka para guru yang bekerja dengan cinta luar biasa, dan belum mendapatkan balasan terbaik untuk pengabdian mereka (New-Indonesia.org)

Setiap tanggal 25 November, Indonesia memperingati Hari Guru. Terbilang tak cukup meriah, lantaran nyaris tak ada perayaan tertentu yang menunjukkan gegap gempitanya sebuah hari perayaan. Perayaan untuk harinya para pendidik itu tidak semeriah hari perayaan keagamaan, kemiliteran, dan berbagai perayaan yang acap dirayakan dengan semeriah-meriahnya, lengkap dengan berbagai atraksi. Peringatan Hari Guru nyaris hanya terhenti pada upacara sekadarnya, dan selebihnya senyap begitu saja.

Terutama memang di negara kita sendiri, Indonesia. Hanya di beberapa sekolah saja, biasanya sekolah elite yang menciptakan acara lebih meriah, semisal pementasan atau perayaan lebih khusus hingga pemberian kado dan semacamnya. Di luar itu, bahkan banyak siswa yang bahkan tidak tahu, Hari Guru jatuh pada tanggal berapa.

Di negara-negara lain, sekadar perbandingan, seperti di Vietnam misalnya yang merayakan Hari Guru setiap tanggal 20 November, cara mereka merayakannya terbilang lebih istimewa. 

Biasanya orang-orang akan berkunjung ke rumah-rumah guru mereka, entah para guru itu masih mendidik mereka atau tidak. Mereka mendatangi para guru untuk menunjukkan penghormatan kepada sosok-sosok yang dipandang telah berjasa mendidik mereka, langsung di rumah sosok yang pernah mengajar mereka tersebut.

Terkadang, lewat kunjungan seperti itu, seorang murid atau mereka yang pernah diajar oleh para guru itu dapat lebih meresapi seperti apa realita hidup para gurunya. Sedikitnya, cara itu membantu mereka yang berposisi sebagai murid lebih menghargai bagaimana perjuangan para guru mendidik mereka. 

Selain, tentu saja, cara ini membuat sisi emosional antara guru dan murid lebih tercipta. Sebab terlepas misalnya saat ini mereka bukan lagi sebagai pendidik dan yang dididik, tapi kedekatan yang pernah merekatkan mereka di dunia pendidikan tetap terekat. Artinya, kala seorang murid atau siswa telah selesai dari satu jenjang pendidikan, maka mereka tetap melihat para pendidik mereka itu sebagai guru--sebuah ikatan yang tidak putus begitu saja hanya karena telah mendapatkan ijazah.

Vietnam dapat menjadi salah satu contoh dalam perayaan Hari Guru yang lebih menyentuh sisi emosional, mirip juga yang dilakukan di RRC atau Korea Selatan di mana para siswa memberikan ucapan selamat kepada guru-gurunya lewat kartu khusus hingga bunga.

Di Indonesia, mau tak mau harus diakui peringatan hari istimewa untuk para pendidik itu belum cukup baik. Seperti halnya nasib para guru pun belum dapat dikatakan baik, kecuali di sekolah-sekolah elite yang memang dari biaya sekolah saja terkenal mahal. Sementara jika melihat jauh ke pelosok, ketika guru-guru berstatus Pegawai Negeri Sipil masih sedikit, banyak guru berstatus tidak tetap, sebagian masih berbekal ijazah sekolah keguruan yang di masa lalu hanya setingkat SMA atau bahkan D2 atau D3.

Mereka yang tak memiliki ijazah sampai strata-1, tetap menjalani pekerjaan mereka sebagai guru, entah diakui atau tidak oleh pemerintah. Bagi mereka, pekerjaan sebagai guru sudah sangat membahagiakan. Soal gaji? Banyak dari mereka sama sekali tak berharap gaji dari pekerjaan itu, kecuali hanya menjadi penjual makanan ringan, bertani, dan berbagai pekerjaan lain yang lebih menjanjikan rupiah bagi mereka. Mereka membagi pikiran dan tenaga antara pekerjaan untuk mereka mencari nafkah dengan pekerjaan untuk mereka berbagi ilmu; mengajar.

Apa iya masih ada guru yang bernasib setragis itu? Jika ada yang masih memiliki pertanyaan begitu hampir dapat dipastikan mereka hanya akrab dengan guru-guru yang ada di ibu kota dan bergaji besar. Sementara di pedesaan, banyak guru yang bergaji hanya beberapa rupiah harus bergelut dengan medan yang sulit, jalanan yang buruk, hingga jarak yang jauh, namun mereka menghadapinya dengan rela karena mencintai pekerjaan itu walaupun--sekali lagi--tak semua dari mereka berstatus Pegawai Negeri.

Seorang teman, di Aceh, ia sudah menggeluti pekerjaan sebagai guru hingga 15 tahun lebih. Ia punya bekal ijazah S1, namun tak kunjung mendapatkan pengangkatan yang bisa menjadi jalan untuk ia mendapatkan penghasilan lebih baik. "Syukurnya dari kementerian adalah dana untuk guru yang sudah memiliki sertifikasi, dan kami yang berstatus tidak tetap ini hanya bergantung dari sana," katanya, saat saya hubungi untuk mendengar ceritanya sebagai seorang guru.

Namun dia juga bercerita ada lebih banyak guru lain yang terbilang "tak diakui", entah karena masalah ijazah hingga sertifikasi dari pemerintah. Mereka menjadi guru bantu dan bertahan dengan status "kelas dua" hanya karena kecintaan terlalu dalam pada profesi tersebut. "Jika sekadar berharap pada penghasilan, mungkin sudah jauh-jauh hari mereka meninggalkan pekerjaan ini," ceritanya lagi.

Di Bandung, seperti juga dilaporkan Republika, Jumat (24/11), bahkan hingga hari ini masih banyak guru berstatus honorer hanya mendapatkan gaji tak lebih dari Rp 200 ribu per bulan, meski sebagian besar dari mereka telah mengabdi lebih dari lima tahun. Sementara di sekolah, mereka telah mengajar dari pukul 08.00 sampai dengan pukul 13.00.

Ya, itu hanya secuil kisah dari banyaknya potret miris kehidupan guru di negeri ini. Mereka tidak menyimpan ambisi besar untuk mendapatkan penghasilan besar, meski begitu semoga saja siapa saja yang kini berada di pemerintahan dan punya kewenangan dan peluang lebih besar membantu mereka, dapat melakukan langkah besar untuk lebih menghargai mereka. Sebab, apa saja profesi kita hari ini, di masa lalu kita pernah menjadi murid; sekaligus saksi atas berbagai realita dalam kehidupan mereka, orang-orang yang kita panggil sebagai "guru".

Satu lagi, tak pernah ada negara yang dapat benar-benar maju, sepanjang pekerjaan guru tak dihargai dengan sebaik-baiknya. Syahdan Jepang, yang konon berada di jajaran negara papan atas tak lepas dari momen mengesankan yang menjadi potret perhatian khusus kepada guru. "Ada berapa guru tersisa?" tanya Kaisar Hirohito, yang mengekspresikan penghargaan tinggi kepada para pendidik. Lalu, bagaimana kita menghargai para guru?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun