Namun dia juga bercerita ada lebih banyak guru lain yang terbilang "tak diakui", entah karena masalah ijazah hingga sertifikasi dari pemerintah. Mereka menjadi guru bantu dan bertahan dengan status "kelas dua" hanya karena kecintaan terlalu dalam pada profesi tersebut. "Jika sekadar berharap pada penghasilan, mungkin sudah jauh-jauh hari mereka meninggalkan pekerjaan ini," ceritanya lagi.
Di Bandung, seperti juga dilaporkan Republika, Jumat (24/11), bahkan hingga hari ini masih banyak guru berstatus honorer hanya mendapatkan gaji tak lebih dari Rp 200 ribu per bulan, meski sebagian besar dari mereka telah mengabdi lebih dari lima tahun. Sementara di sekolah, mereka telah mengajar dari pukul 08.00 sampai dengan pukul 13.00.
Ya, itu hanya secuil kisah dari banyaknya potret miris kehidupan guru di negeri ini. Mereka tidak menyimpan ambisi besar untuk mendapatkan penghasilan besar, meski begitu semoga saja siapa saja yang kini berada di pemerintahan dan punya kewenangan dan peluang lebih besar membantu mereka, dapat melakukan langkah besar untuk lebih menghargai mereka. Sebab, apa saja profesi kita hari ini, di masa lalu kita pernah menjadi murid; sekaligus saksi atas berbagai realita dalam kehidupan mereka, orang-orang yang kita panggil sebagai "guru".
Satu lagi, tak pernah ada negara yang dapat benar-benar maju, sepanjang pekerjaan guru tak dihargai dengan sebaik-baiknya. Syahdan Jepang, yang konon berada di jajaran negara papan atas tak lepas dari momen mengesankan yang menjadi potret perhatian khusus kepada guru. "Ada berapa guru tersisa?" tanya Kaisar Hirohito, yang mengekspresikan penghargaan tinggi kepada para pendidik. Lalu, bagaimana kita menghargai para guru?