"Hari Kiamat" dalam Hadis: Kritik Tajam bagi Pemerintahan yang Tak Serahkan Kepada Ahlinya
Dalam riwayat Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Apabila suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya (kiamat)." (HR. Bukhari) NU Online+2Hadits.id+2
Hadis ini menegaskan bahwa salah satu bentuk hilangnya amanah adalah ketika urusan (baik itu pemerintahan, hukum, agama, maupun sosial) diserahkan kepada orang yang tidak kompeten atau tidak pantas. Secara teologis, pernyataan "tunggulah kehancuran" bukanlah sekadar retorika moral, melainkan ancaman bahwa ketidakadilan, penyelewengan, dan kerusakan sistemik bisa menjadi bagian dari "tanda kiamat kecil"---yakni keruntuhan nilai-nilai sosial dan politik dalam masyarakat.
Makna hadis ini diperkuat oleh interpretasi bahwa urusan yang dimaksud meliputi berbagai ranah publik: peradilan, kepemimpinan, pendidikan, kebijakan umum, dan tugas-tugas negara lainnya. detikcom+2Ngopibareng+2
Pemerintahan Tanpa Ahli: Realitas dan Bahayanya
Jika kita meneladani hadis itu dalam konteks pemerintahan modern, maka kita bisa melihat sejumlah fenomena yang "menghidupkan" peringatan tersebut:
1. Penempatan Jabatan Berdasarkan Kekuatan Politik, Bukan Kompetensi Teknis
-
Banyak pejabat tinggi di sektor teknis --- misalnya energi, teknologi, data, lingkungan hidup --- yang justru berasal dari latar belakang non-teknis. Meski memiliki kapasitas administratif, mereka sering kekurangan pemahaman mendalam terhadap isu teknis kritis.
-
Akibatnya, kebijakan strategis sering miskin kajian teknis, atau tidak menyesuaikan kondisi nyata di lapangan --- sehingga tidak efektif atau bahkan kontraproduktif.
2. Proyek Besar yang Gagal Karena Perencanaan Lemah
Contoh: pengadaan perangkat teknologi massal (sekolah, infrastruktur digital) yang diluncurkan serentak di daerah-daerah dengan tingkat kesiapan yang sangat berbeda. Ketidakmerataan infrastruktur internet, kurangnya pelatihan SDM lokal, dan kondisi geografis disamping regulasi lokal yang tidak mendukung bisa membuat proyek menjadi mubazir atau bahkan menjadi beban keuangan negara.
Bila perusahaan atau birokrat yang mengelola proyek tersebut bukan ahli di bidang teknologi, logistik, atau infrastruktur, maka risiko kegagalan menjadi jauh lebih tinggi.
3. Korupsi dan Disfungsi Lembaga
Ketika urusan publik diserahkan kepada orang yang "bukan ahlinya", seringkali pengamanan sistem pengawasan dan pengendalian internal juga lemah. Hal ini membuka celah eksploitasi, kolusi, dan nepotisme.
Data KPK menunjukkan pejabat eselon dan koneksi pribadi sering terlibat dalam kasus korupsi (pengadaan, proyek, alokasi anggaran).
Akibatnya, kepercayaan publik terhadap institusi negara turun drastis.
4. Dampak Sosial dan Politik: Krisis Kepercayaan & Polarisasi
Warga akan merasakan bahwa negara tidak mampu menjalankan fungsi dasarnya secara adil dan profesional---dari pelayanan publik hingga penegakan hukum.
Kekecewaan itu bisa memicu polarisasi, kemarahan publik, bahkan rusaknya legitimasi politik. Bila legitimasi runtuh, demokrasi bisa goyah.
Inilah "kehancuran" dalam skala sosial-politik: negara berjalan tak sehat, kepentingan publik diabaikan, konflik internal menguat.
Mengaitkan Hadis dan Data: Kritik Keras kepada Pemerintah
Menghadirkan hadis tersebut dalam kritik terhadap pemerintah bukan sekadar retorika keagamaan---melainkan panggilan etis dan moral:
Jika pejabat yang mengatur bidang data bukan dari latar belakang data, bidang kesehatan dipimpin oleh orang yang tidak memahami medis, atau lingkungan dibentuk oleh mereka yang tidak mengerti ekologi --- ini sama artinya dengan menyalahi amanah agung.
Hadis memberi konsekuensi moral: "tunggulah kehancuran" --- ialah kesadaran bahwa sistem akan rapuh, integritas melemah, dan publik menjadi korban.
Dengan menyebut hadis ini dalam kritik, kita mengingatkan bahwa pemerintahan bukan sekadar kekuasaan duniawi, melainkan amanah kepada rakyat dan kepada Tuhan.
Seruan Aksi: Menjaga Amanah, Memanggil Ahli
Agar "hari kiamat" (dalam makna keruntuhan sistem) tidak benar-benar terjadi, pemerintah (dan seluruh aktor publik) harus:
Reformasi sistem meritokrasi: tidak ada kompromi antara kepentingan politik dan kemampuan teknis.
Transparansi dan audit publik yang kuat: membuka proses lelang, analisis risiko, evaluasi pihak ketiga.
Partisipasi ahli dan pakar independen: dalam merancang kebijakan, audit kebijakan, dan supervisi masyarakat sipil.
Sanksi tegas terhadap penyalahgunaan amanah: jika terbukti pejabat mengabaikan kompetensi dalam penunjukan, harus ada konsekuensi politik dan hukum.
Pendidikan nilai etika dan integritas di birokrasi: agar pejabat tidak hanya "paham teknis", tapi juga memahami bahwa mereka memikul amanah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI