Ketika Pandangan Dibatasi, Hati Justru Lebih Terarah
"Kabut menutupi pandangan, namun justru di sanalah letak ketenangan. Karena mungkin kita tak perlu melihat segalanya. Kadang, batas pandang justru menyederhanakan apa yang selama ini terasa rumit." ( Iqbal Huda Amanulloh)
Hidup sering kali diibaratkan seperti perjalanan panjang di tengah cuaca yang tak menentu. Ada kalanya langit cerah, jalan terbentang luas, dan arah begitu jelas. Namun, ada pula saat di mana kabut turun perlahan, menutupi segalanya. Jalan yang tadinya terang menjadi samar. Kita mulai bertanya-tanya, "Haruskah aku berhenti? Atau terus melangkah dalam ketidakpastian?"
Namun, pernahkah kita berpikir bahwa kabut yang membatasi pandangan justru membawa ketenangan yang dalam?
Ketika Segalanya Tidak Harus Terlihat
Di zaman yang haus akan kepastian, manusia terbiasa ingin tahu segalanya. Ingin tahu apa yang akan terjadi minggu depan, bulan depan, bahkan bertahun-tahun kemudian. Kita dicekoki oleh narasi bahwa "semakin tahu, semakin tenang". Padahal, justru pengetahuan yang terlalu luas dan tak terbatas sering kali menghadirkan kecemasan baru.
Kabut adalah metafora yang mengajarkan kita tentang batas. Bahwa tidak semua hal harus terlihat sekaligus. Tidak semua jawaban harus tersedia hari ini. Tidak semua jalan harus kita pahami hingga ujungnya sebelum mulai melangkah. Dalam keterbatasan pandang, kita dipaksa untuk percaya---pada langkah kecil, pada intuisi, pada pertolongan Ilahi.
Batas Pandang adalah Karunia, Bukan Kekurangan
Allah SWT berfirman:
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."
(QS. Al-Baqarah: 216)
Ayat ini menegaskan bahwa keterbatasan pengetahuan manusia adalah bagian dari desain Ilahi. Ada kebijaksanaan dalam ketidaktahuan kita. Ada ketenangan dalam tidak tahu.