Pendekatan ini selaras dengan pandangan hermeneutik Wilhelm Dilthey: bahwa angka hanyalah ekspresi dari pengalaman manusia. Dalam konteks Unilever, angka keuntungan ditafsirkan ulang sebagai representasi kehidupan yang lebih baik bagi konsumen, pekerja, dan lingkungan.
Dari sudut pandang hermeneutik, laporan Unilever bukan hanya laporan ekonomi, tetapi teks kehidupan yang bisa “dibaca” untuk memahami bagaimana perusahaan mengintegrasikan nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap keputusannya.
2. Toyota Motor Corporation: Akuntansi sebagai Cermin Filosofi Kehidupan
Toyota, sebagai salah satu perusahaan otomotif terbesar di dunia, dikenal dengan filosofi manajemennya yang disebut Toyota Way. Filosofi ini menekankan dua nilai utama: continuous improvement (kaizen) dan respect for people.
Prinsip “respect for people” sangat sejalan dengan nilai hermeneutik Dilthey, karena menempatkan manusia sebagai pusat pemahaman dan pengambilan keputusan. Toyota tidak hanya menggunakan sistem akuntansi untuk mengejar efisiensi produksi, tetapi juga untuk memahami makna di balik setiap proses.
Dalam pelaporannya, Toyota banyak menekankan transparansi dan keterbukaan terhadap kesalahan. Mereka menganggap setiap data bukan sekadar angka, tetapi cerminan nilai seperti kejujuran dan pembelajaran.
Misalnya, ketika Toyota mengalami krisis global akibat masalah recall pada 2010, perusahaan ini tidak sekadar memperbaiki laporan teknis, tetapi juga mengakui kesalahan secara moral dan terbuka kepada publik. Tindakan ini merupakan bentuk penafsiran etis yang selaras dengan pendekatan hermeneutik: memahami kesalahan sebagai bagian dari makna eksistensial organisasi, bukan sekadar kegagalan teknis.
3. Bank Syariah Indonesia (BSI): Menafsir Akuntansi melalui Nilai Spiritual
Di Indonesia, penerapan nilai-nilai hermeneutik dapat dilihat dari praktik akuntansi syariah, terutama pada Bank Syariah Indonesia (BSI). Bank ini beroperasi bukan hanya dengan prinsip ekonomi, tetapi juga dengan prinsip moral dan spiritual.
Dalam akuntansi syariah, setiap laporan keuangan bukan hanya menggambarkan kondisi ekonomi, tetapi juga mengandung makna nilai Islam: keadilan, kejujuran, dan keberkahan. Pendekatan ini sangat sejalan dengan pemikiran Dilthey, yang menekankan bahwa ilmu sosial harus memahami kehidupan manusia secara utuh — termasuk dimensi spiritualnya.
Misalnya, konsep zakat, akad, dan nisbah bagi hasil dalam laporan keuangan BSI bukan hanya instrumen teknis, tetapi juga cerminan nilai moral dan tanggung jawab sosial. Pelaporan semacam ini menunjukkan bahwa akuntansi dapat menjadi sarana ekspresi nilai dan makna kehidupan, bukan sekadar alat perhitungan laba.