Dengan pendekatan hermeneutik, seorang akuntan atau peneliti tidak hanya membaca data, tetapi juga berusaha memahami pengalaman, nilai, dan niat di balik penyusunan data tersebut. Laporan keuangan dapat dipandang sebagai “teks kehidupan” yang menuturkan kisah tanggung jawab, etika, serta orientasi sosial perusahaan. Akuntansi tidak lagi dilihat sebagai sistem tertutup yang bersifat mekanis, melainkan sebagai bentuk komunikasi sosial yang hidup dan bermakna.
Hermeneutika juga menekankan keterlibatan peneliti atau pembaca dalam proses pemahaman. Artinya, dalam menafsirkan praktik akuntansi, seseorang tidak bisa bersikap netral sepenuhnya, karena ia selalu membawa horizon nilai dan pengalaman sendiri. Pemahaman baru akan muncul melalui proses dialog antara penafsir dan objek yang ditafsirkan. Dengan cara ini, penelitian akuntansi menjadi kegiatan interpretatif yang berupaya menangkap makna di balik angka, bukan hanya mencari hubungan sebab-akibat.
Why: Mengapa Pendekatan Hermeneutik Penting dalam Akuntansi
Pendekatan hermeneutik Dilthey menjadi penting karena menawarkan alternatif terhadap paradigma positivistik yang selama ini mendominasi dunia akuntansi. Paradigma positivistik memandang akuntansi sebagai ilmu yang objektif, kuantitatif, dan bebas nilai. Akuntansi dalam pandangan ini hanya bertugas mengukur fenomena ekonomi dengan cara yang netral, dapat diuji, dan berlaku universal.
Pandangan semacam itu memang menghasilkan sistem akuntansi yang efisien, tetapi sering kali mengabaikan dimensi manusiawi di dalamnya. Positivisme menempatkan akuntan sebagai pengamat dari luar, yang bertugas menganalisis angka-angka tanpa mempertimbangkan makna sosial dan etis yang melatarbelakanginya. Dalam praktiknya, hal ini berpotensi menimbulkan dehumanisasi, di mana manusia hanya dipandang sebagai objek statistik dan bukan sebagai subjek moral yang memiliki pengalaman dan nilai.
Hermeneutika menawarkan sudut pandang yang berbeda. Pendekatan ini menempatkan manusia sebagai pusat dari kegiatan ekonomi dan akuntansi. Setiap transaksi dan keputusan keuangan dianggap sebagai cerminan dari makna hidup, nilai budaya, dan orientasi moral manusia. Dalam perspektif ini, angka tidak lagi netral, melainkan hasil dari proses sosial dan historis yang kompleks. Misalnya, konsep laba bukan hanya ukuran keberhasilan ekonomi, tetapi juga simbol dari tanggung jawab moral, keseimbangan sosial, dan legitimasi organisasi.
Selain itu, pendekatan hermeneutik membantu menegaskan bahwa kebenaran dalam akuntansi tidak hanya diukur berdasarkan validitas empiris, tetapi juga berdasarkan koherensi makna. Artinya, laporan keuangan dianggap “benar” bukan karena angkanya sesuai dengan standar matematis, tetapi karena ia mampu merepresentasikan realitas sosial secara bermakna dan jujur. Dengan demikian, akuntansi hermeneutik memberikan dasar rasional baru yang tidak bergantung pada eksperimen, melainkan pada pemahaman yang mendalam terhadap kehidupan ekonomi manusia.