Mohon tunggu...
SNF FEBUI
SNF FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Badan Semi Otonom di FEB UI

Founded in 1979, Sekolah Non Formal FEB UI (SNF FEB UI) is a non-profit organization contributing towards children's education, based in Faculty of Economics and Business, Universitas Indonesia. One of our main activities is giving additional lessons for 5th-grade students, from various elementary schools located near Universitas Indonesia. _________________________________________________________ LINE: @snf.febui _________________________________________________________ Instagram: @snf.febui ____________________________________________________ Twitter: @snf_febui _______________________________________________________ Facebook: SNF FEB UI ____________________________________________________ Youtube: Sekolah Non Formal FEB UI ______________________________________________________ Website: snf-febui.com ______________________________________________________ SNF FEB UI 2020-2021 | Learning, Humanism, Family, Enthusiasm | #SNFWeCare

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bimbingan dan Konseling di Sekolah: Isu Non-Populer yang Krusial

28 November 2020   17:42 Diperbarui: 29 November 2020   14:12 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Bimbingan dan Konseling di sekolah merupakan satu kesatuan (integral) dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah" (Munandir,1993).

Bimbingan dan Konseling. Suatu hal yang sering dikaitkan dengan hukuman dan tempat orang-orang "bermasalah". Seringkali, para murid cenderung menghindarinya, beralasan bahwa ruangan Bimbingan dan Konseling ibarat tempat yang sepi dan jarang peminat. 

Beberapa orang memang mendapatkan privilege untuk dapat bertemu dengan guru Bimbingan dan Konseling yang selayaknya teman dan dapat menjadi wadah jika terjadi masalah. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar murid masih takut untuk bercerita atau sekadar berkabar dengan guru Bimbingan dan Konseling. Lalu, siapa yang salah? Guru BK (Bimbingan dan Konseling), murid, atau justru sistem pendidikan yang ada?

Sejarah Bimbingan dan Konseling di Indonesia

Kebutuhan yang mendesak akan pendidikan sejak kemerdekaan hingga tahun 1960, membuat kesadaran akan pentingnya Bimbingan dan Konseling dalam sekolah-sekolah tidak luput diperbincangkan. Hal ini sebagaimana digagas dalam Konferensi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Malang tanggal 20-24 Agustus 1960, dengan nama awal Bimbingan dan Penyuluhan. Persiapan pertama yang dilakukan ialah dengan mempersiapkan tenaga pengajar melalui dibukanya jurusan Bimbingan dan Penyuluhan, yang diinisiasi oleh IKIP(Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Bandung dan IKIP(Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Malang pada tahun 1964 [1]. 

Melalui proses yang panjang dan terinspirasi dari pendidikan yang ada di Amerika Serikat, pada tahun 1975, Bimbingan dan Penyuluhan (BP) resmi dimasukkan dalam kurikulum sekolah seiring dengan lahirnya kurikulum 1975. Hal ini sempat menjadi kontroversi dan menimbulkan persepsi yang negatif karena fokusnya yang cenderung bersifat represif dan sebagai "polisi". Pola yang digunakan juga masih kurang jelas, baik dasar hukum maupun pelaksanaannya. 

BP  sempat berganti nama menjadi Bimbingan Karir (1984) lalu pada akhirnya menjadi Bimbingan dan Konseling (1994-sekarang) seiring dengan bergantinya kurikulum yang ada [2]. Dengan Bimbingan dan Konseling(BK) yang ada sekarang, BK diharapkan bukan hanya sebagai tempat anak-anak bermasalah dan sarana memilih jurusan kuliah kedepannya. BK idealnya dapat menjadi wadah bagi murid untuk berkeluh kesah bilamana terjadi masalah, sesuai dengan 5 fungsi utama BK, yakni fungsi pemahaman, pencegahan, pengentasan, pemeliharaan dan pengembangan, serta advokasi.

Puncak Permasalahan

Seiring dengan berkembangnya Bimbingan dan Konseling di Indonesia, aturan-aturan serta landasan yang digunakan juga berubah-ubah. Aturan yang ada sekarang, sebagaimana tercantum dalam SK Mendikbud No 025/1995 memang diakui sudah mengandung banyak peningkatan bagi kualitas Bimbingan dan Konseling di Indonesia. Namun, dengan sistem yang ada sekarang, persepsi masyarakat masih menjadi kendala dalam pelaksanaan Bimbingan dan Konseling. 

Dalam pelaksanaannya, guru BK masih dianggap sebagai "polisi sekolah" yang mengurusi dan menghakimi para siswa yang bermasalah, baik karena terlambat, menggunakan pakaian yang tidak sesuai norma sekolah (rok/celana ketat, baju yang dikeluarkan dari rok/celana), maupun permasalahan lainnya. 

Dalam praktiknya juga, masih dapat ditemukan bahwa Bimbingan dan Konseling dilakukan secara sporadik oleh guru yang tidak memiliki latar belakang Bimbingan dan Konseling [3].  Selain itu, Bimbingan dan Konseling juga masih dianggap sebagai "sampingan" dan bukan nilai utama yang menentukan dalam pencapaian akademis murid. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun