Pendidikan anak adalah sebuah perjalanan panjang yang membutuhkan kolaborasi, bukan hanya sekadar tugas satu pihak. Seringkali, kita terlalu fokus pada peran sekolah—nilai rapor, kurikulum, dan tugas—sehingga lupa bahwa pendidikan yang sesungguhnya terjadi di mana-mana, terutama di rumah. Sekolah dan rumah adalah dua pilar penting yang harus berdiri kokoh dan saling menopang. Tanpa sinergi yang kuat antara guru dan orang tua, benih-benih kebaikan yang ditanam di sekolah akan sulit tumbuh dan berbuah.
Analogi seorang petani sangat relevan untuk menggambarkan hal ini. Di SMP Negeri 2 Delanggu, para guru ibarat petani yang menanam benih. Mereka menanamkan nilai-nilai luhur: kedisiplinan, rasa hormat, tanggung jawab, dan semangat belajar. Setiap hari, di dalam kelas, mereka berupaya keras agar benih-benih ini tertanam kuat dalam diri siswa. Mereka memberikan pelajaran, membimbing, dan menegakkan aturan agar anak-anak memahami pentingnya karakter. Namun, benih ini tidak bisa tumbuh hanya dengan ditanam.
Di sinilah peran orang tua menjadi krusial. Orang tua adalah penyiram, pemberi cahaya, dan penjaga tanah yang subur. Di rumah, benih kebaikan itu harus disiram dengan keteladanan. Saat anak melihat orang tuanya bersikap sopan, bertanggung jawab, dan menghormati orang lain, mereka akan mencontoh. Bimbingan dan perhatian dari orang tua adalah sinar matahari yang menghangatkan dan memberikan energi positif, sementara lingkungan rumah yang kondusif adalah tanah subur tempat benih bisa berkembang.
Sayangnya, sering kali benih yang sudah ditanam dengan susah payah oleh guru dibiarkan kering di rumah. Upaya keras di sekolah tidak mendapatkan penguatan. Justru, yang terjadi sebaliknya: anak dibenarkan saat melakukan kesalahan, dimaklumi saat lalai, atau dimanja berlebihan. Ketika seorang anak diajarkan sopan di sekolah, tetapi di rumah melihat orang dewasa saling membentak, mereka akan bingung. Ketika mereka belajar tentang tanggung jawab di kelas, tetapi di rumah tidak ada yang peduli apakah PR-nya selesai, motivasi mereka akan luntur.
Akibatnya, muncullah generasi yang cerdas, tetapi tidak tangguh. Mereka mungkin tahu mana yang benar, tetapi tidak terbiasa memilihnya. Mereka kritis, tetapi kehilangan arah. Cerdas secara akademis, tetapi mudah goyah dalam menghadapi tantangan hidup. Tujuan pendidikan bukan hanya mencetak anak pintar. Lebih dari itu, tujuannya adalah melahirkan individu yang beriman, berprestasi, berempati, dan siap menghadapi dunia nyata dengan segala kompleksitasnya.
Pendidikan adalah kerja sama, bukan kompetisi. Guru dan orang tua harus berjalan beriringan. Kolaborasi ini tidak hanya berarti datang ke sekolah saat ada undangan, tetapi juga melibatkan komunikasi yang terbuka, saling mendukung, dan memahami peran masing-masing. Ketika guru dan orang tua bersinergi, benih kebaikan yang ditanam di sekolah akan tumbuh subur di rumah, dan berbuah indah di masa depan.
Mari kita terus menguatkan kolaborasi ini demi putra-putri hebat SMP Negeri 2 Delanggu. Bersama-sama, kita wujudkan Generasi Emas Esperode yang akan menjadi pondasi bagi Generasi Emas Indonesia di masa depan. Tujuan kita bukan hanya sekadar mencetak lulusan, tetapi juga menciptakan pemimpin masa depan yang berkarakter, tangguh, dan berdaya saing.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI