Di tengah hiruk pikuk globalisasi yang kian mengikis identitas lokal, bahasa dan budaya Jawa menghadapi tantangan serius. Penggunaan bahasa Jawa di kalangan generasi muda terus menurun, tergeser oleh dominasi bahasa Indonesia dan bahasa asing. Ini bukan sekadar masalah komunikasi, tapi ancaman nyata bagi keberlangsungan identitas bangsa. Lalu, bagaimana kita bisa mengembalikan gairah dan kebanggaan pada warisan luhur ini? Jawabannya mungkin ada pada inovasi sederhana namun berdampak besar: program SENGOJO NYENGGOL, atau "Sedino Nganggo Boso Jowo, Nyeluk, Nglaras, Golek, Lelaku Budoyo Jowo".
Ketika Bahasa Ibu Terpinggirkan: Peran SENGOJO NYENGGOL
Kita tidak bisa memungkiri bahwa di Surakarta dan sekitarnya, banyak anak muda yang lebih nyaman berbahasa Indonesia, lebih akrab dengan bahasa gaul, istilah-istilah dari media sosial, atau bahkan bahasa asing yang mereka pelajari di sekolah. Anggapan bahwa bahasa Jawa itu kuno atau membosankan kian populer. Padahal, bahasa Jawa adalah kunci untuk memahami kekayaan budaya, filosofi, dan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Di sinilah SENGOJO NYENGGOL hadir sebagai solusi. Program ini tidak sekadar mendorong penggunaan bahasa Jawa, tapi juga bertujuan mengembalikan bahasa Jawa sebagai bagian integral dari komunikasi sehari-hari siswa. Dengan menetapkan satu hari khusus di sekolah untuk berkomunikasi penuh dalam bahasa Jawa, program ini secara langsung mengatasi masalah ketergantungan pada bahasa Indonesia dan bahasa asing yang menggeser bahasa daerah. Ini adalah upaya konkret untuk menjaga agar bahasa daerah tetap digunakan dan tidak hilang seiring berjalannya waktu.Â

Memutus Rantai Kebosanan: Inovasi Pembelajaran yang Menarik
Salah satu keluhan utama tentang pembelajaran bahasa dan budaya Jawa adalah sifatnya yang monoton dan tidak menarik. Buku teks yang kering atau metode pengajaran yang kaku sering membuat siswa enggan mendalaminya. SENGOJO NYENGGOL mencoba memutus rantai kebosanan ini dengan pendekatan yang kreatif dan menyenangkan.
Bayangkan, di hari SENGOJO NYENGGOL, siswa tidak hanya diajak berbahasa Jawa di kelas, tapi juga di kantin, di halaman sekolah, bahkan saat berinteraksi dengan guru dan staf sekolah. Ini adalah bentuk penyederhanaan pembelajaran budaya lokal yang membosankan menjadi pengalaman yang relevan dan menyentuh emosi siswa. Pembelajaran tidak lagi terbatas di ruang kelas, tetapi meresap ke dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari di sekolah, menjadikan bahasa Jawa bagian dari interaksi sosial yang dinamis dan alami.
Membangun Karakter dengan Pondasi Nilai JawaÂ
Selain revitalisasi bahasa, program ini juga berfokus pada penguatan karakter siswa melalui nilai-nilai budaya Jawa. Budaya Jawa kaya akan ajaran moral seperti gotong royong, hormat kepada sesama, andhap asor (rendah hati), dan kebijaksanaan. Di tengah tantangan moralitas yang disebabkan oleh perkembangan teknologi dan budaya asing, nilai-nilai ini sangat penting untuk ditanamkan.
Melalui SENGOJO NYENGGOL, siswa tidak hanya belajar kosakata atau tata bahasa, tetapi juga menginternalisasi nilai-nilai tersebut secara praktis. Ketika mereka harus menggunakan bahasa Jawa dengan tingkat kesopanan yang berbeda (ngoko lugu, ngoko alus, krama lugu, krama alus) sesuai dengan lawan bicara, mereka secara tidak langsung belajar tata krama dan sikap hormat. Ini adalah cara efektif untuk membentuk karakter siswa dengan menanamkan nilai-nilai budaya Jawa dalam kegiatan sehari-hari mereka.
Mengajak Semua Berperan: Dari Siswa Hingga GuruÂ
Salah satu tantangan terbesar dalam pelestarian budaya adalah kurangnya keterlibatan aktif siswa. Mereka sering menjadi objek, bukan subjek pelestarian. SENGOJO NYENGGOL dirancang untuk mengubah paradigma ini. Dengan program ini, siswa menjadi subjek aktif yang "dipaksa" dan diajak untuk menggunakan bahasa Jawa, bahkan jika awalnya terasa canggung. Ini menciptakan ruang yang lebih inklusif, di mana siswa dapat berperan langsung dalam melestarikan budaya mereka melalui pengalaman praktis.
Namun, keberhasilan program ini juga sangat bergantung pada partisipasi guru. Banyak guru mungkin belum terbiasa atau belum dilatih untuk mengajarkan bahasa dan budaya Jawa dengan cara yang efektif dan menarik. Oleh karena itu, pelatihan dan dukungan bagi guru menjadi krusial. Guru harus menjadi teladan dan fasilitator yang antusias dalam program SENGOJO NYENGGOL, menunjukkan bahwa bahasa Jawa itu hidup, relevan, dan menyenangkan.
SENGOJO NYENGGOL bukan sekadar program sekolah biasa; ini adalah gerakan untuk membangun kembali jati diri Jawa di tengah arus globalisasi. Dengan secara sengaja "menyinggung" (nyenggol) siswa untuk menggunakan bahasa Jawa dalam keseharian, program ini diharapkan dapat menumbuhkan kecintaan, kebanggaan, dan kesadaran akan pentingnya melestarikan warisan budaya yang tak ternilai ini. (Tim Kreatif Esperode)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
