Mohon tunggu...
Salma Aulia
Salma Aulia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi Jurnalistik Universitas Padjadjaran

"Work hard in silence. Success be your noise"

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Keegoisan Orangtua yang Ditiru Sang Anak

2 Januari 2023   18:05 Diperbarui: 4 Januari 2023   05:25 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting Anak (Sumber: pngtree.com)

"Mbak, saya boleh duluan gak? Saya buru-buru ini anak saya udah ga betah sampe nangis."

"Dek, tante boleh ya pinjem mainannya sebentar, kasian lihat anak tante sampai nangis gini, boleh ya?"

Masih banyak ditemui beberapa orang tua yang melakukan mengucapkan kalimat-kalimat serupa baik disadari maupun tidak. Orang tua rela melakukan hal-hal demikian dengan dalih "demi anak" karena mereka ingin dimaklumi dengan perbuatannya tersebut. Padahal hal yang dilakukan oleh orang tua tanpa disadari mengganggu kenyaman orang lain di sekitarnya. Hal inilah yang tanpa sadar pula menjadikan sang anak tumbuh menjadi orang yang egois.

Tahun-tahun pertama kehidupan seorang anak sangat berpengaruh pada tumbuh kembang dan karakternya di masa depan. Pada usia 2-7 tahun inilah anak banyak melihat dan meniru apa yang terindra olehnya, dikarenakan rasa keingintahuannya tinggi juga memiliki pemikiran dan komunikasi yang egosentris, karena berpikir bahwa semua hal yang dipikirkannya cenderung berpusat pada dirinya. Maka dari itu, penting sekali bagi para orang tua untuk memperhatikan stimulasi juga bimbingan terbaik bagi sang anak. 

Albert Bandura dan Richard Walters mengungkapkan pendapatnya terkait perilaku meniru. Menurut mereka, terdapat interaksi antara faktor yang terjadi dalam diri (kognitif) dalam perilaku meniru yang dilakukan oleh manusia. 

Dimulai dari proses perhatian (attention process) yang dipengaruhi oleh asosiasi antara model juga pengamatnya. Setelah proses perhatian tersebut dilewati, maka tibalah di proses selanjutnya, yakni proses representasi (representation process). Proses representasi ini merupakan proses dimana tingkah laku model yang ingin ditiru akan disimbolisasikan di dalam ingatan baik dalam bentuk visual maupun verbal.

Tahap perkembangan sosio-emosional seorang anak pun bersinggungan dengan kajian psikologi sosial. Perkembangannya dipengaruhi oleh kedekatan dan interaksi anak dengan orang tuanya. 

Hal ini dapat menentukan kemandiriannya, juga pembentukan karakternya kelak. Kecerdasan emosional dan psikologi penting untuk dipelajari agar sang anak dapat mengembangkan kemampuan sosio emosionalnya dan memiliki kecerdasan interpersonal yang baik hingga dapat bersosialisasi dengan lingkungannya dengan baik.

Interaksi sosial anak dimulai dari keluarga, rumah, sekolah dan terakhir di masyarakat. Erik Erikson, seorang Ahli Psikoanalisis menyampaikan pendapatnya terkait teori psikososial. Ia menyatakan bahwa manusia akan selalu mengalami konflik yang berbeda di kehidupannya, dan yang menentukan manusia tersebut dapat mengembangkan karakter positif atau negatif adalah ditentukan dari lingkungan juga pengalaman yang didapat dari konflik yang dihadapi tersebut. 

Maka, interaksi yang dilakukan antara anak dan orang tua sangat intens sehingga menjadikan anak banyak mengalami dan melihat suatu perkataan maupun tindakan yang ditunjukkan orang tuanya dan akan direpresentasikan oleh anak untuk menjadikan orang tua sebagai modelnya.

Sebagai orang tua, sudah menjadi kewajiban untuk berperan sebagai mentor yang baik bagi sang anak. Mulailah mengajarkan pada anak mengenai kenyataan pada hidup yang pada dasarnya tidak selalu ada orang yang berpihak pada sang anak nantinya. 

Anak perlu diperkenalkan dan merasakan perasaan kecewa dan sabar ketika dia tidak bisa mendapatkan apa yang dia inginkan segera. Anak perlu diperkenalkan juga pada sikap sabar dalam mendapatkan sesuatu. Perlu ada usaha, perjuangan ataupun proses yang dilalui untuk mencapai hal tersebut. 

Selain memperkenalkan sikap sabar dan perasaan kecewa, anak juga perlu dikenalkan dengan perasaan empati, konsep meminjam, memberi dan mengalah. Misalnya ketika ia menginginkan suatu mainan milik kakaknya, adiknya atau temannya, ia perlu dipahamkan konsep meminjam dengan baik-baik pada kakak, adik ataupun temannya mengenai barang yang tidak dimilikinya dan setelah selesai digunakan maka perlu dikembalikan kembali. 

Proses belajar mengalah, menjadi bagian dari tahapan perkembangan sosial-emosional. Biasanya, hal ini mulai muncul ketika anak berusia sekitar 3 - 4 tahun, ketika ia sudah lebih baik memahami perasaan orang lain dan mulai belajar berempati. 

Pemahaman mengenai konsep memberi dan mengalah adalah ketika sang anak menemui keadaan dimana orang lain membutuhkan sesuatu yang dimilikinya, dan dengan sadar dan tergerak karena dorongan dari hati sang anak ingin memberikan apa yang dimilikinya pada orang lain agar orang lain bahagia dan tertolong. 

Misalnya ketika sang adik atau kakak menginginkan makanan yang dimiliki seorang lainnya, maka dengan dorongan dari hati ia mau mengalah untuk memberikan makanan yang menjadi hak miliknya agar seorang lainnya dapat merasakan kelezatan makanan tersebut bersama. 

Dilansir dari situs motherbeyond.id, terdapat pendapat yang dikemukakan oleh psikolog Rosdiana Setyaningrum, M. Psi, M. HPEd., terkait sifat mengalah yang pada dasarnya dapat menjadi pisau bermata dua. 

Sifat mengalah di satu sisi dapat membantu sang anak dalam membentuk pribadi proporsional juga belajar mematangkan emosinya untuk mengambil keputusan dalam menyelesaikan konflik. 

Di sisi lainnya, sering mengalah dapat membuat sang anak merasa "tertinggal" dari teman lainnya, hingga berdampak pada kepercayaan dirinya dan tidak mau mengungkapkan keinginan serta kurangnya memiliki inisiatif dan sikap kompetitif dalam melakukan sesuatu.

Maka dari itu, konsep mengalah ini perlu diajarkan dengan beberapa catatan, yaitu:

  1. Jika berada pada sebuah situasi yang mengharuskan sang anak untuk mengalah, ajak dirinya untuk memahami situasi yang dihadapinya. Misal ketika kakak dan adik bertengkar karena berebut mainan, maka salah satunya diberikan pengertian mengapa perlu mengalah pada yang lainnya.

  2. Pemahaman terkait konsep mengalah pada anak ini dilakukan dengan tidak memaksa dan terlalu keras.

  3. Tetap bersikap netral, tidak memihak anak yang satu dari yang lainnya.

  4. Cobalah lakukan role play dengan anak yang memperlihatkan sebuah situasi yang bagaimana perlu diberlakukan sikap mengalah.

  5. Memberikan apresiasi pada anak ketika sudah mengalah di situasi yang tepat.

  6. Dicontohkan pada anak bagaimana seharusnya kita menerapkan sikap mengalah.

Jika sang anak sudah diperkenalkan dengan beberapa hal yang disebutkan sebelumnya, maka sang anak tidak akan tumbuh dengan pola pikir, sikap dan perasaan memiliki semuanya sendiri atau merasa segala hal di dunia ini adalah miliknya. 

Anak yang terbiasa memiliki pola pikir dan perasaan terbiasa memiliki segala sendiri, secara otomatis rasa egois akan muncul, terlebih jika perasaan egois tersebut dirangsang oleh orang tuanya sendiri yang melakukan beberapa hal di atas dengan dalih "demi anak".

Didikan Orang Tua

Didikan orang tua tidak kalah penting dalam membentuk karakter sang anak. Didikan orang tua tidak hanya berasal dari kalimat-kalimat yang diucapkan pada sang anak, namun seluruh tindak tanduk orang tuanya, akan selalu diperhatikan sang anak yang memang merupakan masa-masanya banyak "meniru" yang ada di sekitarnya. 

Maka dari itu, yuk bagi para orang tua dihimbau untuk lebih memperhatikan perkataan dan sikapnya sebab hal itu selalu menjadi suatu hal yang menarik bagi anak untuk diperhatikan. 

Di sisi lain, orang tua juga perlu memberikan pemahaman bagi anak terkait perasaan kecewa dan empati, konsep meminjam, memberi, serta mengalah dalam suatu kondisi tertentu. Semangat berbenah diri para orang tua agar dapat mendidik anak yang cerdas emosional dan bersosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun