Mohon tunggu...
Slamet Samsoerizal
Slamet Samsoerizal Mohon Tunggu... Fiksi dan Nonfiksi

Penggagas SEGI (SElalu berbaGI) melalui tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengapa Siswa Tak Lagi Gemar Membaca Buku? Ini Masalah, Akar, dan Harapan yang Tersisa

12 Oktober 2025   05:50 Diperbarui: 12 Oktober 2025   05:50 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gemar membaca dimulai sejak dini, dengan pembiasaan kemudian menjadi budaya (Sumber: antara.com/SSDarindo)

Mengapa siswa makin jarang menyelesaikan membaca buku secara penuh? Sebuah pertanyaan yang diangkat oleh sebuah analisis di National Review bukan sekadar retorika budaya. Namun, gejala sistemik yang berakar pada perubahan digital, praktik pendidikan, dan struktur sosial.

Artikel tersebut menyorot kegelisahan ihwal generasi murid saat ini semakin enggan membaca karya panjang. Fenomena ini menuntut perhatian bukan hanya dari pendidik tetapi juga dari pembuat kebijakan, orang tua, dan penerbit.

Data nasional dan studi literasi memberi bobot pada kekhawatiran ini: skor rata-rata membaca murid mengalami penurunan dalam beberapa survei besar. Ini merupakan sebuah sinyal bahwa masalah ini lebih dari sekadar soal hiburan.

Ada beberapa lapisan penyebab yang saling terkait. Pertama, persaingan perhatian dari media digital---video pendek, feed media sosial, dan konten cepat---menawarkan kepuasan instan yang mengikis kemampuan siswa untuk bertahan membaca narasi panjang. Pola konsumsi konten kini membentuk kebiasaan baru: murid terbiasa pada potongan informasi visual yang cepat, sehingga membaca buku terasa lambat dan tidak menarik. Bagi sebagian besar remaja, kecepatan telah menggantikan kedalaman.

Kedua, perubahan kurikulum dan praktik pendidikan pada banyak sekolah memperkuat gejala ini. Fokus pembelajaran yang berorientasi pada ujian membuat guru lebih sering menggunakan cuplikan teks atau ringkasan daripada bacaan panjang. Tekanan waktu membuat murid kehilangan kesempatan membangun stamina membaca dan kemampuan memahami struktur teks utuh. Ketika sekolah jarang memberi ruang untuk menyelami cerita panjang, kebiasaan membaca buku pun hilang secara perlahan.

Ketiga, munculnya teknologi baru yang memberi jalan pintas pengetahuan. Ini dimulai dari ringkasan otomatis hingga aplikasi berbasis AI, membentuk sikap pragmatis terhadap bacaan. Murid-murid kini terbiasa mencari inti informasi tanpa perlu membaca keseluruhan buku. Hal ini menumbuhkan mentalitas instan: membaca bukan lagi proses eksploratif, melainkan sekadar alat mencapai hasil. Dalam jangka panjang, pola ini melemahkan daya analitis dan kemampuan berpikir kritis, dua komponen penting dalam literasi abad ke-21.

Selain faktor teknologi, masalah relevansi dan akses juga menjadi penyebab turunnya minat baca. Banyak bacaan wajib di sekolah yang tidak lagi terasa relevan bagi remaja modern. Tema dan bahasa buku klasik sering dianggap ketinggalan zaman, sehingga muridtidak merasa "terhubung" dengan isi bacaan. Sementara itu, tidak semua sekolah memiliki perpustakaan memadai atau koleksi buku yang menarik. Di wilayah dengan akses terbatas, guru sering berjuang menghidupkan kegiatan literasi tanpa dukungan infrastruktur yang layak.

Padahal, menurunnya minat baca bukan hanya masalah budaya, melainkan juga masalah kognitif. Membaca intensif membantu mengembangkan kosakata, memperluas wawasan, dan menumbuhkan empati. Ketika kebiasaan itu hilang, kemampuan memahami teks kompleks ikut melemah.

Penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan membaca buku panjang berkontribusi pada peningkatan daya konsentrasi dan kemampuan berpikir mendalam. Tanpa itu, murid berisiko menjadi pembaca dangkal yang hanya mengejar ringkasan tanpa menyelami makna.

Membangun kembali budaya membaca tidak bisa dilakukan dengan kampanye singkat. Diperlukan strategi jangka panjang yang melibatkan seluruh ekosistem pendidikan: guru, sekolah, keluarga, dan masyarakat. Guru perlu mengubah pendekatan dari sekadar memberi tugas menjadi membimbing proses memahami makna. Buku tidak boleh hanya menjadi alat ujian, tetapi jendela yang membuka ruang dialog antaride dan nilai. Jika murid diajak menemukan relevansi antara isi buku dan pengalaman hidup mereka, minat baca akan tumbuh secara alami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun