Mohon tunggu...
Slamet Samsoerizal
Slamet Samsoerizal Mohon Tunggu... Penulis - Fiksi dan Nonfiksi

Penggagas SEGI (SElalu berbaGI) melalui tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Relawan, Bisa Jadi Pemuji Sekaligus Pencaci

5 Agustus 2022   15:51 Diperbarui: 5 Agustus 2022   16:30 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jelang Pilpres 2024, sejumlah relawan tampak menggeliat. Ada yang caper. Ada yang baper.

Relawan dalam konteks ini adalah relawan politik.   Mereka ialah para pendukung terhadap partai dan sosok bagi calon pemimpin.  Mengapa caper dan baper?

Pemuji Sekaligus Pencaci

Relawan yang menyandang sebagai pemuji sekaligus pencaci bisa memerankan dua sosok sekaligus. Itu sebabnya, mereka bisa caper atau mencari perhatian juga baper atau terbawa perasaan.

Caper, manakala komunitasnya menyokong pujaannya. Mereka akan pamer kekuatan. Cara yang ditempuh dengan pawai massal. Berarak dengan tampilan yang menyedot perhatian massa.

Teriakan, yel yel, dan spanduk diumbar sambil mengusung partai atau sosok yang didukungnya. Tentu dengan gaya lebay agar massa tertarik.

Bagaimana jika mereka terusik? Misal ada yang mengritik partai dan sosok calon pemimpin yang diusungnya?  Pertunjukan yang dapat kita tonton adalah Sang Relawan, akan baper.

Murka bisa ditampakkan. Ekspresi  itu dipertontonkan terlebih ketika media elektronik meliputnya. Over acting  atau lebay yang kita tonton. Sadar atau tidak mereka melupakan bahwa peran Relawan hanyalah penggembira.

Penentu tentang calon,  baik yang akan menduduki lahan eksekutif maupun legislatif adalah kewenangan partai. Bukan Relawan.

Sadar diri sebagai Relawan merupakan keharusan. Ini bertujuan agar caper-baper yang berujung pada perilaku lebai tidak terjadi.

Perlukah Relawan diatur dalam kancah Pilpres 2024? Sangat perlu! Sebab, keberadaaan mereka bukan sebagai pendatang baru. Mereka adalah pemain lama.  Kemunculannya memang temporer dan situasional.

Tak keliru, apabila Relawan diberikan lahan semisal kolomkhusus oleh kompasiana.com untuk saling berdebat secara tertulis. Selain keeleganan Relawan akan kentara, juga mereka pun perlu membudayakan berliterasi.

Dalam kaitan ini Relawan yang mendukung atau menolak gagasan atau calon pemimpin yang mereka bahas, merupakan polemik cantik yang tidak sekadar gaduh di jalan-jalan raya. Namun, menjadi ingar-bingar dalam polemik asyik para intelektual.

Berkaca pada sejarah, bangsa ini pernah diwarisi polemik tentang kebudayaan yang dihelat oleh para tokoh sekelas Sutan Takdir Alisjahbana, Sanoesi Pane, dan Poerbatjaraka.

Sebagaimana diketahui, Polemik Kebudayaan adalah momen pergulatan pemikiran di kalangan budayawan Indonesia pada 1930-an. Polemik seputar apakah zaman Indonesia modern pada awal Abad ke-20 merupakan kelanjutan zaman sebelumnya ataukah justru sama sekali baru.

Bagian ini diisi dengan perang pena antara Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, dan Poerbatjaraka. Poerbatjaraka ikut menanggapi tulisan Sutan Takdir Alisjahbana. Guru Besar UI dan UGM itu memandang bahwa Indonesia modern adalah sambungan dari zaman-zaman sebelumnya. Dia juga menolak pandangan bahwa Indonesia harus berkiblat ke Barat.

Polemik atau perdebatan mereka dan tokoh-tokoh budayawan lainnya secara tertulis dikumpulkan oleh Achdiat Karta Mihardja dan dijadikan buku berjudul Polemik Kebudayaan yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1948.

#Relawan Politik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun