Mohon tunggu...
Slamet Arsa Wijaya
Slamet Arsa Wijaya Mohon Tunggu... Guru - Tak neko-neko dan semangat. Sangat menyukai puisi dan karya sastra lainnya. Kegiatan lain membaca dan menulis, nonton wayang kulit, main gamelan dan menyukai tembang-tembang tradisi, khususnya tembang Jawa.

Sedang berlatih mengaplikasikan kebenaran yang benar, ingin lepas juga dari ketergantungan kamuflase dan kecantikan berlipstik yang mendominasi di lingkungan kita. Sisi lainnya, ingin jadi diri sendiri dan wajib mencintai tanah air sepenuh hati dan jiwa.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Demo Penolakan Omnibus Law Jilid I Sudah Lewat, Penggerak Anarkisme Siapa Tanggung Jawab?

13 Oktober 2020   14:01 Diperbarui: 13 Oktober 2020   15:42 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Apakah cukup ampuh seruan Menkopolhukam Mafud MD yang saat itu, tegas katakan akan menindak siapa saja para anarkis dan pelaku perusakan. Terhadap demo buruh menolak Undang Undang Cipta Kerja (UUCK) pada 8 Oktober diketahui rusuh itu. Sehingga hari berikutnya tidak tedengar lagi ada aksi. Apa ada penyesalan telah bertindak destruktif atau justru sedang siapkan jurus lain?. 

Mencermati peristiwa itu jadi tergelitik perkataan tentang bahwa birahi yang meluap-luap dapat membuat kalap. Baru setelah syahwatnya tersalurkan pelakunya lega lalu melenggang pergi. Tanpa berpikir apakah tindakannya itu sisakan runyam dan kepedihan atau tidak. Apapun itu, kalau kejadian gaduh terus berulang, kapan negeri ini sepi bergejolak. Adat ketimuran duduk bersama satu meja samakan persepsi, seolah sudah jadi barang langka. Setiap ada perbedaan pandang selalu terjadi kekacauan.

Betapa ngenas hati masyarakat. Mereka seolah melihat antara ombak kekuasaan dan gelombang panas pemolakkan beradu. Pecah menjadi riak-riak bara dan merusak sendi-sendi humanisme. Pepas oleh murka yang tak jelas. Salah apa toko-toko buku di Senen, Jakarta Pusat, tempat dimana selama berpuluh tahun jadi jendela dunia ilmu, bagi para berkantong tipis. Kini harus kehilangan wahananya karena dibakar. Ribuan judul buku lawas yang tak dicetak lagi hilang tak berbekas.

Begitu pun halte-halte bus Transjakarta porak-poranda diaduk-aduk tangan-tangan kejam. Bangunan-bangunan sebagai fasilitas untuk rakyat dirusak. Pastinya yang kesulitan bukan pejabat. Banyak lagi sarana lain di berbagai daerah diamuk demonstran. Yang intinya tidak jelas balas dendam untuk siapa. Kalau pangkalnya di UUCK yang sudah disahkan,toh belum serta merta dijalankan. Jadi belum jelas juga dampak akutnya seperti apa dan memakan korban berapa besar.

Apa ini efek budaya kolonial yang 350 tahun kuasai bumi pertiwi. Hingga membuat kita cepat terbakar sekira kepentingannya terancam. Apakah belum cukup 75 tahun kemerdekaan negeri ini menata mental santun dan membangun keberadaban. Lalu apa selama ini hanya nina bobo, kita dikenal bangsa lemah lembut. Tapi keberingasan kerap ditontonkan. Apakah dari pemerintah ke pemerintah juga gagal membangun generasi yang arif, panjang akal, nalar dan berlapang dada.

Begitu mudahnya menerima informasi belum jelas, lalu mengiyakan ajakan yang tak tahu tujuannya. Penulis pun setuju artikel di Kompasiana. Kompasianernya begitu menyesalkan langkah mahasiswa. Sampai menganalogikan apalah arti "maha" yang dia maknai sebagai tataran tinggi atau tertinggi di silsilah kesiswaan (pelajar). Semestinya untuk bertindak sesuatu dipikirkan masak-masak. Terukur dan penuh pertimbangan, bukan sebaliknya grasa-grusu dalam berkeputusan.

Wajar kalau ada plesetan peristiwa tempo itu ada analisis meleset. Para penggerak dan para aktor intelektualnya kecele. Mereka meyakini kata-kata maha itu, dan mengira sudah sulit mahasiswa melakukan hal-hal tanpa perhitungan. Maka sebagai gantinya mengerahkan adik-adiknya, yakni para pelajar untuk membumbui aksinya agar sukses melakukan perlawanan kepada penguasa yang dianggap memaksakan kehendak. Buru-buru sahkan UUCK/Omnibus Law.

Ternyata "sukses besar" memanfaatkan pelajar dan oknum mahasiswa. Tanpa banyak tanya mereka emban tugas sesuai misi. Ribuan pelajar yang ditangkap aparat membuktikan  hasil interogasinya hanya ikutan berdemo. Tujuannya tidak tahu, kecuali karena ajakan teman di grup-grup sosial media (sosmed). Wajar kalau ada yang mengatakan seolah sudah diskeneriokan, dan mampu menterjemahkan keinginannya sebagai mesiu dan serdadu. Saat pemicunya ditarik dalam situasi memanas meledaklah amarah mereka bak serdadu menyerang dengan gagah.

Terlepas UUCK merugikan buruh atau tidak. Apakah harus spontanitas dijawab dengan mengerahkan massa jutaan orang di berbagai daerah. Lalu pertanyaanya, sejak kapan sejarah penolakan UU sudah disahkan bisa batal, karena ditolak beramai-ramai dengan demo berjilid-jilid?. Tidak pernah, pasti itu jawabnya. Mekanismenya tetap meminta Presiden membuat Peratuaran Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu). Memang tata caranya seperti itu. Apa kuatir pemerintah akan mbalelo dan ndablek tidak mau menuruti.

Jika demikian, toh masih ada Mahkamah Konstitusi (MK). Tempat warga negara satu saja atau beberapa orang bila tidak setuju terhadap UU yang disahkan, bahkan sudah berjalan, karena ditemukan ada kejanggalan bisa dilakukan judisial reviu. Faktanya, tetap diproses dan sudah banyak contohnya. Termasuk pasal-pasal di UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK-2003) yang diajukan judisial reviu ke MK karena ada pasal-pasal yang sangat merugikan buruh dikabulkan. Juga UU lainnya. Mau contoh lagi, UU No 17/2012 tentang Perkoperasian, bahkan total dibatalkan oleh MK. Meskipun diajukan oleh sebagian kecil praktisi koperasi yang tidak setuju. Padahal UU tersebut prosesnya hampir 10 tahun.  

Yang pasti demo buruh kali itu menjadi trending topik di warung-warug kopi dan diskusi-diskusi kelompok debat kusir masyarakat pinggir jalan. Mereka mengatakan sangat berlebihan menyikapi Omnibus Law yang baru disahkan Senen, (5/10) itu dan pada Selasa (6/10) langsung ditolak hingga gaungnya seolah meruntuhkan langit. Seolah lupa akan bahaya besar Corona yang masih mewabah. Begitu bergemuruh, eforia dan phobia. Bagai dendam benci akan terbalaskan.  

Mereka juga mengungkapkan terlepas adanya hoax yang menjadi fakta dan juga mis sosialisasi dari pihak pemerintah. Kerusuhan dalam demo tersebut telah terjadi. Bahkan disinyalir ditunggangi pihak-pihak yang menginginkan keadaan makin keruh, lalu siapa bertanggung jawab atas penggerak rusuh tersebut.

Jujur hadirnya UUCK itu merugikan buruh, setuju. Kita boleh empati. Penulis juga setuju persoalan perburuhan di Indonesia, posisinya sangat lemah. Sebenarnya di era 1990-an lebih parah. Upah murah dan banyak hak buruh yang terjegal. Penulis sempat merasakan intimidasi yang kuat dari para berpihak pada perusahaan/pengusaha, siapa pun mereka. Jelasnya terjadi loss keadilan di pihak buruh. Banyak aktivis buruh menderita bahkan meregang nyawa. Seperti Marsinah karyawati Pabrik Jam, PT Catur Surya Putra, Porong-Sidoarjo. Penggerak buruh wanita itu harus berhadapan para pembela bos perusahaan yang melibatkan aparat pada 8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga hari.

Aktivis begitu gigih perjuangkan keadilan untuk sesama buruh. Posisinya bagai berada di depan mulut ular kepala dua. Perjuangannya sulit berhasil karena ada pengkhianatan. Saat demo berlangsung merasa senang, seolah mendapat banyak dukungan. Mereka dikerubuti simpatian fanatik ikut memperjuangkan hak-haknya. Ternyata para "simpastisan dan empati" sedang memperjuangkan misinya sendiri. Numpang kekuatan buruh dengan menungganginya. Baik yang pro perusahaan maupun pro buruh ujung-ujungnya duit.

Suatu ketika penulis ikut jadi tim perunding demo buruh, pihak perusahaan nyata-nyata tidak mau untungnya berkurang. Mereka menolak memenuhi tuntutan buruhnya yang besar. Hingga saat perundingan berlangsung, terucap oleh owner kalau buruh bisa membayar pengacara, perusahaan apalagi. Jelaslah, ungkapan itu menandakan adu kekuatan. Apalah arti bagi buruh. Pasti tidak apa-apanya di mata majikan. Sementara buruh hanya berharap keadilan dan nurani.

Hasilnya 370-an karyawan perusahaan logam di bilangan Cakung, Jakarta Timur pada 1996, di PHK atas ijin pihak berwenang. Dengan pesangon sesuai kebijakan perusahaan. Pastilah keputusan itu sangat nyesek. Faktanya semua simpatisme, humanisme dan keadilan yang buruh mimpikan hanya fatamorgana. Masuk akal ada sandiwara Korea. Para pemimpin oragnisasi buruh juga manusia yang butuh kesejahteraan, sementara pengurus sudah total di orgaisasi tidak lagi menjadi karyawan di suatu perusahaan.             

Kembali kepada penolakkan terhadap UUCK oleh buruh tempo hari. Bukan tak mungkin menjadi tunggangan juga. Hemat penulis peran pemerintah dan keberpihakannya masih besar. Sayangnya hoax juga begitu dahsyat mempengaruhi buruh, bahwa aturan 7 poin hak buruh yang masuk UUCK semua isinya sangat merugikan. Tentu kalau narasinya demikian pastilah mengundang hujan empati dari siapa pun.

Organisasi buruh tepat jika akan all out memperjuangkan dan dengan tegas menolak. Narasi penindasan gaya baru terjadi di abad modern ini tidak boleh terjadi. Demikian pengusaha juga tinggal diam demi kepentingannya. Bedanya mereka punya modal dan segalanya. Sisi lain duit cukup menggiurkan. Tetapi bila orientasinya imbalan, kemurnian perjuangan tetap ternoda. 

Kalau pusarannya seperti itu yang mampu mencegah memang pemerintah. Bisa jadi betul tentang pesangon yang di tentukan pada UUK/13/ 2003, sebanyak 32 bulan gaji, banyak perusahaan yang tidak mau memenuhi. Sehingga dalam UUCK pemerintah ambil jalan tengah yakni menjadi 25 bulan. Pengusaha maunya 19 bulan saja, dan pemerintah nambahi 6 bulan gaji. Kenapa ada angka 6 bulan dari pemerintah, bisa jadi perusahaan tetap kekeh maunya hanya 19 bulan saja untuk pesangon. 

Mencermati hal tersebut wajar ada kekuatiran dari buruh. Kalau pemerintah dibebani konsistenkah menepati janjinya. Tentang besaran pesangon yang mengerucut menjadi 25 bulan gaji. Bila perhitungan sesuai UUK 2003 yang tentukan 32 bulan gaji, kata Arteria Dahlan Anggota DPR Fraksi PDIP dalam acara TV One pekan lalu, mengatakan banyak perusahaan tidak sanggup penuhi angka 32 itu, sehingga dicapai kesepakatan jadi 25. 

Buruh harus terima puas atau tidak dengan jumlah itu. Kata dia memang tidak semua permintaan harus dipenuhi, tetapi didekatkan demi keseimbangan antara pengusaha dengan buruh. Namun penilain buruh jatah pengusaha yang sebesar itu pun belum tentu dipenuhi. Siapa yang menjamin perusahaan tidak ingkar dengan angka 19 bulan itu. Aturan tinggal aturan, pelaksanaanya bisa beda. Begitu pun tanggung jawab pemerintah yang 6 bulan gaji prosesnya berbelit apa tidak.

Irosnisnya saat kegundahan masih menyelinap di hati buruh, hoax pun deras mengguyur kelingahannya memainkan hati. Menyatakan semua unsur dari tujuh (7) poin hak buruh yang dimasukan dalam UUCK isinya berbanding berbalik, alias tanpa pesangon dan kerugian-kerugian lain. Otomatis karena kerugian besar mengancam, siapapun pasti terbakar emosi atas kompor dari pihak-pihak yang memanasi itu. Ditambah banyak kelompok memancing di air keruh kekacauan pun tak terelakan lagi.

Faktanya hoax bukan isapan jempol. Presiden Joko Widodo menyataakn hal itu benar adanya, sehingga diandaikan tidak ada hoax situasinya tetap kondusif. Banyaknya disinformasi karena hoaks itulah diakui Presiden, membuat UUCK mendapat penolakan keras dari masyarakat. Salah satunya mengenai upah yang dibayarkan per jam. Kata presiden ada yang menyebut upah minimum dihitung per jam. Ternyata dia akui hal itu tidak benar.

Presiden menyebut sesuai informasi hoax, tidak ada perubahan pengupahan sesuai yang diatur dalam UUK 2003. Presiden justru bilang ada perubahan dengan sistem yang sekarang. Yakni upah bisa dihitung berdasarkan waktu dan berdasarkan hasil. Di UUK 2003 masih kata presiden, tidak mengatur upah dengan satuan hasil dan waktu. Ungkap Presiden justru ada revisi UUK 2003 dengan menambahkan Pasal 88 B. Pasal 88 B ayat (1) menyebutkan, upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan atau satuan hasil. Kemudian di Pasal 88 B ayat (2) juga dijelaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai upah satuan hasil dan waktu diatur dalam peraturan pemerintah (PP).

Masih soal PHK kata Presiden perusahaan bisa kapanpun melakukan PHK. Yang  benar perusahaan tidak bisa melakukannya secara sepihak. Dalam UUCK justru diatur tentang PHK yang tidak diatur di UUK 2003. Pasal 161 UUK 2003 mengatur, pengusaha dapat mem-PHK jika pekerja melakukan pelanggaran sesuai ketentuan yang diatur di perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Namun PHK baru bisa diberlakukan setelah pekerja diberikan surat peringatan hingga tiga kali secara berturut-turut. Kata Presiden pasal tersebut dihapus di UUCK tapi mengganti dengan pasal 154A huruf j yang mengatur hal serupa.

Terkait pasal 155 UUK 2003 yang dihapus melalui UUCK juga menjadi sorotan tajam. Dimana pasal tersebut mengatur PHK yang dilakukan tanpa penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial batal demi hukum. Selain itu, pasal tersebut juga mengatur perusahaan bisa melakukan skorsing terhadap pekerja yang masih dalam proses PHK, namun tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja. Menurut Presiden klausul tetap ada tetapi di hoax yang beredar katanya hak-hak tersebut dihilangkan, atau tidak belaku adanya. **

Sumber: Kompas.com, Tempo.com, TV One.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun