Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat pendidikan nasional, sosial, dan pengamat sepak bola nasional. Ini Akun ke-4. Akun ke-1 sudah Penjelajah. Tahun 2019 mendapat 3 Kategori: KOMPASIANER TERPOPULER 2019, ARTIKEL HEADLINE TERPOPULER 2019, dan ARTIKEL TERPOPULER RUBRIK TEKNOLOGI 2019

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Bisu dan Tuli, Bukankah Dapat Membaca, Berbicara, dan Mendengar?

19 Desember 2023   12:13 Diperbarui: 19 Desember 2023   12:25 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Supartono JW

Bersyukurlah menjadi manusia yang sejak lahir sampai mati, dapat menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi secara normal karena beragama, berbudi, dan berbudaya. Lebih bersyukur lagi, bila menjadi manusia yang normal, tidak bisu-tuli. Maka, gunakanlah kenormalan itu untuk berkomunikasi dengan bahasa manusia yang penuh sopan-santun dan etika, dalam komunikasi di berbagai ruang. Yang bisu dan tuli saja ingin diberikan kenormalan agar dapat berbicara dan mendengar. Tetapi mengapa yang dapat berbicara dan mampu mendengar, malah banyak yang pura-pura bisu dan tuli? Tidak bertanggung jawab, pura-pura tidak membaca informasi, pura-pura tidak tahu, tetapi langsung tidak bisu dan tuli saat ada hal yang menguntungkan dirinya sendiri.

(Supartono JW.19122023)

Di zaman ini, justru akan membuat kita bingung, bila yang normal, mampu berbicara dan mendengar, tidak pura-pura bisu dan tuli saat ada orang lain yang membutuhkan bantuan, tanggung jawab, hingga kewajibannya. Lazimnya, tentu akan pura-pura bisu dan tuli. Dari rakyat jelata hingga elite di negeri ini, mudah diidentifikasi, siapa para aktor dan aktris yang tabiatnya seperti itu. Tetapi, saat dirinya sendiri yang meminta bantuan, meminta tanggung jawab, meminta kewajiban dari orang lain, bisu dan tuli tidak disandangnya lagi.  

Sepanjang manusia hidup di dunia, panggung dramanya, ada satu ruang atau lingkup yang membatasi manusia. Ruang atau lingkup itu adalah komunikasi. Sementara untuk komunikasi dan berkomunikasi, manusia sudah pasti menggunakan bahasa.  Dapat dibayangkan bila manusia hidup di dunia tidak ada bahasa untuk dapat saling berkomunikasi hingga sampai pada titik ada budaya komunikasi di kehidupan menusia dengan menggunakan bahasa.

Dari lahir, hidup, mati, semua terus ada komunikasi

Sesuai fitrahnya, manusia lahir ke dunia sudah dibekali dan membawa tanda-tanda. Tanda-tanda itu adalah, saat baru lahir bayi akan memberi isyarat dengan tangisan. Tangisan bayi ini, menjadi hal yang sangat ditunggu. Semua awalnya menunggu sang buah hati dengan ada perasaan cemas, berikutnya ada rasa haru, hingga berujung bahagia. Namun, ada juga pihak  keluarga yang cemas dan gundah, tatkala setelah sekian lama menunggu, ternyata tidak juga terdengar sang buah hati menangis.

Saat bayi lahir, kemudian tidak menangis, akan ada upaya dari yang membantu kelahiran, seperti dukun bayi/paraji/bidan/dokter, menepuk-nepuk agar si bayi bisa menangis. Bila pada akhirnya bayi tetap tidak menangis, maka itu pun bagian dari rencana Tuhan untuk kehidupan di dunia.

Namun, terkait komunikasi, baik bayi yang dapat menangis setelah lahir atau bisu/tuli, semua dalam kehidupan ini akan ada jalannya masing-masing. Baik dapat berkomunikasi karena lahir normal atau ada kendala bisu dan tuli, maka dalam berkomunikasi tetap ada cara dan etikanya.

Bayi yang kemudian menjadi anak, remaja, dewasa, hingga menjadi orangtua, terus membekali dirinya dengan bahasa untuk berkomunikasi dengan ruang lingkupnya, baik yang normal atau tidak. Tentunya ada yang belajar berkomunikasi melalui jalur pendidikan keluarga, sekolah, perguruan tinggi, lingkungan pekerjaan, lingkungan masyarakat, dll. Sehingga kemampuan berbahasanya akan menyesuiakan dengan situasi dan kondisi lingkungannya.

Karenanya, bersyukurlah bagi manusia yang sejak lahir ke dunia, sudah dianugerahi kehidupan normal, dapat menangis yang pada akhirnya mampu berbicara dengan bahasa untuk berkomunikasi di kehidupan nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun