Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Niat berbagi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kehilangan Jati Diri?

1 Maret 2020   18:24 Diperbarui: 1 Maret 2020   18:42 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: doc.Supartono JW

Semakin hari, kita dapat melihat banyak orang-orang semakin jauh dari identitas diri sendiri dan tidak lagi menjadi diri sendiri, dari rakyat biasa, elite partai politik, hingga pemimpin negeri ini. 

Sebenarnya aku, kamu, dia, kita, mereka, itu siapa? Sebab semakin hari, semakin dapat diidentifikasi keberadaannya, apakah sebagai diri sendiri atau orang lain (baca: robot). 

Secara fakta, bila kita melihat sikap dan perbuatan para elite partai politik yang duduk di parlemen maupun di kursi pemimpin bangsa akan sangat jelas, bahwa mereka kini lebih dominan tidak menjadi diri sendiri. 

Mereka menjadi seperti robot yang diperbudak oleh partai-partai yang mengusung mereka karena harus berperan bukan sebagai diri sendiri. Bila robot biasanya digerakkan oleh remote control dan melakukan segala perintah tanpa ada nilai perasaan, maka setali tiga uang, para elite partai di parlemen dan kursi pemerintahan pun sama. 

Bertindak lebih banyak karena perintah partai yang jauh dari sikap kemanusiaan, perasaan, etika, dan budi pekerti. Jauh dari karakter bangsa yang dicitakan. 

Lalu, sudah bukan rahasia lagi, apa dan bagaimana skenario partai-partai politik di Indonesia dalam upaya memenangkan diri? Tentu kehidupan tak nyata yang didukung oleh taktik, intrik, dan politik. 

Itulah drama kehidupan yang kini terus menggelora di Republik ini, hingga tak henti ada pertanyaan. 

Benarkah ide pindah ibu kota RI yang tak ada modal, kebijakan naik iuran tarif ini  tarif itu yang bikin rakyat sengsara, bagi-bagi kue kursi di parlemen, bagi-bagi kursi di pemerintahan dan BUMN untuk kesejahteraan kelompok, golongan, dan partainya, berbagai kebijakan yang tak memihak rakyat, penghapusan ini dan itu, adanya perubahan RUU KPK, segala keinginan mengganti ini dan itu, dan lain sebagainya benar-benar ide Jokowi? 

Bisa jadi di dalamnya ada ambisi pribadi, namun bisa jadi, sejatinya itu adalah skenario partai yang mengusungnya? 

Atas situasi dan kondisi ini, maka tak pelak, banyak rakyat berpikir, Presiden kita sedang tidak menjadi diri sendiri, meski secara pribadi, rakyat memilih Jokowi tentu atas nama pribadi, bukan partai. 

Begitupun dengan para pribadi elite partai politik yang dapat berkah dipilih dan dibagi kursi baik di parlemen maupun pemerintahan, mereka tak beda dengan pemimpin bangsa ini, hanya menjadi robot partai yang mengusungnya, bukan menjadi pelayan rakyat yang bijak dan penuh perasaan kasih sayang. 

Karenanya, para elite partai yang akhirnya terpilih duduk di parlemen maupun kursi pemerintahan mewakili partai, maka sudah barang tentu hidup dengan belenggu hutang budi kepada partai. 

Sementara partai-partai pun hutang budi kepada para cukong yang telah membiayai semua kepentingannya.

Jadi, partai-partai politik pun tidak berdiri sebagai diri sendiri, namun hanya menjadi kendaraan bisnis para cukong. 

Luar biasa, sulit rasanya kita menemukan wakil-wakil rakyat yang seharusnya benar-benar memimpin bangsa dan negara demi untuk kesejahteraan rakyat, namun sebaliknya, para pemimpin dan wakil rakyat hanya mensejahterakan partai, selanjutnya partai politik bertugas membalas budi dan mensejahterakan para cukong. 

Nah, para cukong mensejahterakan diri sendiri, keluarga dan koleganya. Karena contoh dan teladan dari mereka inilah, rakyat biasa pun ikut-ikutan "brangasan". 

Ke luar dari diri sendiri, menjadi orang lain, menuruti nafsu dan ambisi, memaksakan diri. Ada yang berupaya agar dipandang sebagai orang kaya, ada yang bertindak mengikuti sikap dan gaya hidup elite politik, dan berbagai model gaya lain, yang semakin menjauhkan diri dari ciri asli orang Indonesia yang santun dan berbudi pekerti luhur. 

Terlebih, seiring kemajuan zaman, hadirnya media massa digital, media sosial, dan riuhnya dunia maya, maka gaya hidup orang Indonesia benar-benar tercerabut dari akarnya. 

Ikut-ikutan, mencontoh, meniru, menjipak, mengekor, memanfaatkan, mudah diombang-ambing, mudah terpengaruh, mudah menghasut, mudah menyakiti, mudah membenci, mudah bermusuhan, mudah tersinggung, sensitif, dan lain-lainnya. 

Pendidikan semakin tertinggal, daya kreativitas dan inovasi stagnan, tetapi maunya dianggap negara maju. Ironis. 

Yah, orang-orang di negeri ini semakin kehilangan jati diri karena diperbudak oleh diri sendiri, orang lain, pihak lain, dan situasi dan kondisi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun