Mohon tunggu...
Siwi W. Hadiprajitno
Siwi W. Hadiprajitno Mohon Tunggu... Freelancer - Pewarta Penjaga Heritage Nusantara.

Energy can neither be created nor destroyed; rather, it can only be transformed or transferred from one form to another.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Limbuk dan Sumbadra

14 Januari 2021   05:00 Diperbarui: 14 Januari 2021   09:27 1054
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lukisan Cat Air Limbuk (karya Indira P.S.) dan Sumbadra (Taufik Kamajaya) laman Facebook

Limbuk. Anak wedoke Cangik. Keduanya (Limbuk dan Cangik) adalah abdi dalem yang menyetiai Para Putri Raja dan Permaisuri. Mereka adalah messenger: pewarta. Mewartakan hikmah dan kebaikan untuk seluruh asuhan dan lingkungannya. Mereka adalah guardian: Sang Penjaga. Menjaga segala rahasia para Putri, Permaisuri, dan seluruh penghuni istana. Pun menjaga junjungannya secara fisik. Mereka adalah teman di saat titik nadir para putri raja. Mereka harus bisa mengingatkan, memberi piweling dan piwulang kepada para putri dengan bahasa yang tidak menggurui. Mereka harus menguasai samudera ilmu. Yang katon dan ora katon.

Mereka adalah bokor. Paidon. Mereka harus tabah menerima lepehan.

Sumbadra. Subadra. Sembadra. Wara Sembadra. Rara Ireng. Siapa yang tidak kenal putri cantik nan langsing ini?

Kepada Pak Tarno, rekan kerja saya di kantor, saya pernah bertanya, jikalau dalam dunia wayang, saya jadi siapa?

Kami berdua -saya dan Pak Tarno- dihubungkan dengan rasa cinta yang sedemikian besar di tengah 'kebelumsahihan-kami-menguasai-dan-memahami'  dunia pewayangan Jawa. Kami berdua bisa terkikik-kikik bahagia mentertawakan kehidupan kecil kami di alam mikrokosmos kantor saat memadankan Para Pandawa dengan 'tokoh nyata di sekeliling kami'. Juga saat bisa memadankan seorang tokoh dengan Prabu Baladewa. Kami bisa berdebat seru jika pendapat kami belum mendapat titik temu. Pak Tarno bilang Werkudara-nya adalah Pak Ban (salah satu dari lima direksi kami. Sugra, Bapak ... hahaha). Saya bilang bukan. Pak Tarno bilang Werkudara lambang kejujuran, apa anane. Sebuah sikap positif yang harus diteladani. Saya bilang, lambang kejujuran adalah Yudistira alias Puntadewa yang karena kejujurannya roda kereta perangnya bisa melayang sekian inci di atas tanah. 

Pernah juga suatu ketika, kami yang kebetulan ada di sebuah fungsi yang sering dapat tugas untuk ndherekke para direksi ini men-sanepa-kan diri kami sebagai para Punakawan, atau emban, Limbuk dan Cangik itu tadi, atau Bagong. Demikianlah. Dan seterusnya. Termasuk membahas tentang kemiripan para tokoh itu, dari sisi tindak tanduk mereka, lengkap dengan penampakan fisiknya, yaitu dedeg, wujud dan bleger.

Pak Tarno sendiri, yang saya juluki sebagai Paman Setyaki, menjawab lugas,

"Panjenengan punika Sumbadra, alias Rara Ireng..."

Saya memprotesnya tanpa ampun. Sebab hati kecil saya ingin sekali dapat jawaban "Srikandi". Atau "Dewi Amba" sekalian. (Hmm... aneh juga, kenapa kok ya harus dua tokoh ini yang memaut hati saya ya? Kenapa bukan tokoh wayang perempuan lain? Sesuatu bagian dari diri saya dengan cukup kritis mempertanyakan sendiri hal ini. Dalam kisah Mahabarata, Dewi Amba menitis ke Srikandi untuk menunaikan tugas membunuh Bhisma dalam perang Bharatayuda.).

"Paman Setyaki, sepindah, kawula punika bukan orang yang ber-pitutur halus, karena saya juga punya potensi untuk marah, murka, dan bisa berkata-kata kasar."

"Ingkang kaping kalih: saya tidak berkulit ireng, Paman... kulit saya lebih terang..."

"Ingkang kaping tiga: Dewi Sumbadra itu sangat sabar, bahkan dalam marahnya, ia tersenyum dengan sangat manis. Saya? Banyak yang bilang saya memiliki wajah yang jutek."

"Ingkang kaping sekawan: Rara Ireng bermata jaitan, berhidung mancung, bermuka tenang. Bersanggul keling dan sebagian rambut terurai. Berjamang dan bersunting waderan. Bergelang dan berpontoh. Sesudah menjadi Wara Sumbadra, putri ini tak mau lagi mengenakan pakaian serba keemasan dan tak mau pula menggunakan mutu manikam. Lha kula...?'"

Pak Tarno cengar-cengir.

"'Nggih, pun. Kula manut mawon. Kangge kula, Njenengan punika tetep Rara Ireng. Wara Sumbadra punika titisanipun Dewi Sri. Perlambang ingkang sae. Punapa Panjenengan mboten remen? Ewadene panjenengan taksih rumaos dereng saged sabar, ninggalaken ageman sarwi keemasan kaliyan sedaya ratna mutu manik, lan sakpiturute kados Rara Ireng, mugi-mugi Gusti Allah SWT paring kaweruh & ilmu ingkang jangkep'"

Pak Tarno unjal napas. Raut wajahnya tetap memancarkan kesabaran luar biasa. Bibirnya tetap tersenyum.

"Lha nanging, saupami Panjenengan ugi ngrumaosi bilih darmanipun Panjenengan sakmangke kedah dados Limbuk, ugi inggih mboten punapa-punapa. Punika langkung sae .... "

Begitu kata Pak Tarno menutup diskusi kami.

Angin berhembus dengan kencang, terlihat dari jendela ruang makan kantor. Mendung yang sedari tadi menggelantung dan gelap mulai menjelma menjadi hujan. Jalan layang busway Trunojoyo terlihat blur karena hujan yang semakin deras.

***

Begitulah. Bukankah seluruh tokoh pewayangan itu ada dalam diri kita?

***


Kamis, 14 Januari 2020 

Ditulis ulang dengan beberapa tambahan dari tulisan saya pada:
Senin, 15 Januari 2018.
22:22 WIB.

Catatan Penulis:

Sebagian kata bercetak miring adalah ungkapan dalam bahasa Jawa.

Anak wedoke: anak perempuan dari.

Messenger: pembawa pesan.

Guardian: penjaga.

Katon: kelihatan.

Ora katon: tidak kelihatan.

Paidon: tempat untuk menampung ludah selesai menyirih.

Lepehan: buangan dari mulut setelah selesai dikunyah.

Apa anane: apa adanya.

Panjenengan punika: Engkau (dalam konteks bahasa Jawa halus untuk orang yang dihormati) adalah

Lha kula?: Lha saya?

Sepindah, kawula punika: Pertama, saya ini

Ingkang kaping kalih: yang ke-2

Ingkang kaping tiga: yang ke-3

Ingkang kaping sekawan: yang ke-4.

Nggih, pun. Kula manut mawon. Kangge kula, Njenengan punika tetep Rara Ireng. Wara Sumbadra punika titisanipun Dewi Sri. Perlambang ingkang sae. Punapa Panjenengan mboten remen? Ewadene panjenengan taksih rumaos dereng saged sabar, ninggalaken ageman sarwi keemasan kaliyan sedaya ratna mutu manik, lan sakpiturute kados Rara Ireng, mugi-mugi Gusti Allah SWT paring kaweruh & ilmu ingkang jangkep: Ya sudah. Saya ikut saja. Buat saya, engkau tetaplah seorang Rara Ireng. Wara Sumbadra itu titisan Dewi Sri. Perlambang yang bagus. Apa engkau nggak suka? Jika pun engkau masih merasa belum bisa sabar, meninggalkan pakaian serba indah dan semua pernak pernak pernik emas permata, dan seterusnya sebagaimana Rara Ireng, semoga Gusti Allah SWT menganugerahi pemahamN dan ilmu yang utuh.

Lha nanging, saupami Panjenengan ugi ngrumaosi bilih darmanipun Panjenengan sakmangke kedah dados Limbuk, ugi inggih mboten punapa-punapa. Punika langkung sae .... ": akan tetapi, seumpama engkau juga merasa bahwa darma yang sekarang tengah engkau jalani memang harus menjadi Limbuk, juga tidak mengapa. Itu malah lebih bagus.


Referensi: Google & dan pinjaman kekuatan khayali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun