Mohon tunggu...
Siwi W. Hadiprajitno
Siwi W. Hadiprajitno Mohon Tunggu... Freelancer - Pewarta Penjaga Heritage Nusantara.

Energy can neither be created nor destroyed; rather, it can only be transformed or transferred from one form to another.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Prabangkara: Dahana Tanpa Asmara

5 September 2019   05:27 Diperbarui: 30 Maret 2020   12:15 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi, koleksi pribadi fotografer Uus Trie.

Aku menuntun Bedjo yang sudah bosan diam. Ia ingin diajak melangkah lagi, berjalan. Pantai Pelabuhan Ratu pagi ini penuh halimun. Meskipun matahari murah sekali menebarkan cahayanya. Kamu mengikutiku berjalan. Tetapi memilih berjalan disamping Bedjo. Tidak disampingku.

Kulihat sekilas, kau mengangguk.

Aku memperbaiki topi koboiku.

"Saya lebih suka menyebutnya sebagai Asmara Dahana, Gusti. Karena dengan menyebutnya begitu, lebih bermakna buat saya. Asmara adalah cinta. Dahana adalah api. Api cinta. Sebuah nyala yang abadi. Bukankah begitu, Gusti Ayu?"

Kau memandangku dengan matamu yang kelam. Bagiku kau tetap cantik dan anggun. Kita berjalan semakin menjauhi pasir putih pelataran Samudera Beach Hotel. Beberapa meter ke depan adalah situs Batu Karut. Bebatuan mulai bermunculan di tepian pantai. Ombak berdebur-debur. Hantamannya terkadang lembut, terkadang sekencang degup jantungku saat tatap mataku bertemu tatap matamu. Meskipun aku sadar degup itu tak kau rasakan. Sama sekali.

"Iya, Satya. Energi cinta lah yang membuat seluruh kehadiran di semesta ini."

"Jadi, Gusti Ayu sudah tahu sekarang mengapa Gusti harus menjaga Prabangkara?"

Ia menghentikan langkah. Bedjo tidak. Buru-buru kuminta Bedjo berhenti. Batu Karut tinggal 5 meter di hadapan kami. Menurut perasaanku, Batu Karut pagi ini sungguh terasa berbeda. Seperti diselubungi ion-ion nitrogen yang menggandeng aroma kesedihan di setiap rantainya. Seakan-akan pohon-pohon menunduk sedih. Daunnya pun enggan bergerak meski angin sepoi-sepoi menerpa.

"Kata kuncinya adalah 'dahana', Satya."

"Hmmm... jadi, Gusti harus menjaga Sang Api"

"Iya"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun