Mohon tunggu...
Siti Shofia Latifah Azzahra
Siti Shofia Latifah Azzahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Communication Science

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga (20107030013)

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Mengenal Hustle Culture, Yakin Sukses dengan Gaya Hidup Tersebut?

16 Maret 2021   17:37 Diperbarui: 16 Maret 2021   22:55 652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seseorang yang tengah bekerja hingga larut malam menandakan dirinya gila kerja/workaholic (ellecanada.com/Wing Sze Tang)

Hallo, millennials!

Satu tahun lalu, saat pandemi Covid-19 mulai merambah di Indonesia, pemerintah mengeluarkan kebijakan bekerja dari rumah (work from home) ataupun belajar dari rumah (learn from home). 

Saat kebijakan itu berlangsung, banyak media yang menyelenggarakan webinar atau talkshow online dengan mengangkat tema "Tetap Produktif walaupun Di Rumah Saja".

Padahal, dalam kenyataannya kita sudah disibukkan dengan tugas sekolah yang banyak. Dan tak jarang pula para karyawan yang bekerja dari rumah pun mengeluh akibat pekerjaan yang mereka terima seperti tak mengenal waktu. 

Mereka dituntut melakukan tugasnya kapan pun, karena dianggap ketika bekerja di rumah memiliki banyak waktu dan lebih fleksibel. Kita semua dituntut melakukan banyak pekerjaan dalam satu hari bahkan satu waktu.

Kilas balik pada pertengahan tahun lalu, banyak unggahan-unggahan di media sosial orang yang sedang sibuk melakukan pekerjaannya, sedang dikejar deadline juga misalnya. 

Memang, hal itu sudah menjadi tuntutan sekolah ataupun kantor, yang sekarang sudah menjadi gaya hidup dan lebih dikenal dengan istilah "Hustle Culture".

Sebelum membahas lebih lanjut, apakah millennilas sudah familiar dengan istilah "Hustle Culture"? Dan apakah salah ketika kita melakukan pekerjaan dengan kerja keras? Simak di bawah ini, ya!

Sebenarnya, fenomena Hustle Culture ini sudah ditemukan sejak tahun 1971 kemudian semakin menyebar dengan cepat terutama di kalangan milenial. Apalagi beberapa tahun ini, gaya hidup "hustling" menjadi sesuatu yang trendy di kalangan anak muda. 

Apalagi dalam dunia yang semakin kompetitif, Hustle Culture menjadi hal yang menguntungkan. Kalangan muda menjadi tertarik dan berlomba-lomba untuk mengumpulkan seberapa banyak uang yang dapat ia kumpulkan.

Hustle Culture merupakan sebuah gaya hidup dimana seseorang merasa bahwa dirinya harus terus bekerja keras dan hanya meluangkan sedikit waktu untuk beristirahat, karena dengan begitu ia merasa bahwa dirinya akan mencapai kesuksesan. 

Gaya hidup ini mengharuskan seseorang untuk selalu sibuk dengan pekerjaannya di mana pun dan kapan pun, baik itu ketika weekend atau hari libur, pada intinya tidak akan terhenti. Gaya hidup seperti ini cenderung mengabaikan kehidupan sosialnya, apalagi kesehatannya.

Hustle Culture ini lebih mengarah kepada upaya kolektif dimana secara society ia harus bekerja lebih keras, lebih banyak, dan lebih cepat. Karena, dengan bekerja keras ia akan merasa puas dan bisa cepat sukses. 

Sementara orang yang banyak rebahan dan santai itu diasumsikan sebagai pemalas, dan malas adalah pangkal miskin. Jadi, stigma buruk akan menjadi sasaran bagi orang yang meilih menjalani harinya dengan santai, atau orang yang memiliki waktu kerja singkat dan banyak waktu luang.

Ketika terlalu gila kerja, ia sampai tidak mempunyai waktu untuk melakukan hal-hal lain di luar pekerjaannya. Karena menerapkan gaya hidup Hustle Culture berarti dituntut untuk bisa multitasking.

Contohnya adalah makan tidak tenang karena harus sembari memegang laptop (membalas e-mail pekerjaan misalnya), ibadah menjadi tidak khusyuk, pergi liburan namun tidak benar-benar libur karena harus meeting via online dengan klien atau dengan pimpinan, sampai-sampai menjelang tidur pun ia merasa tidak tenang karena terngiang-ngiang pekerjaan.

Mengutip dari opini Gita Savitri Devi dalam kanal youtube nya, bahwa Hustle Culture ini adalah buah dari kapitalisme modern (modern capitalism). 

Dimana manusia lebih menghargai individual gen atau cara kasar nya adalah semuanya serba butuh uang sehingga rela menghabiskan waktunya demi mendapatkan uang. 

Karena pemerintahnya tidak bisa menyediakan kebutuhan yang bahkan bersifat pokok (dasar) seperti pendidikan yang murah, fasilitas kesehatan yang terjamin, tempat hidup yang layak dan terjangkau, sampai kebutuhan air bersih.

Gaya hidup seperti Hustle Culture ini semakin terlihat dan diagung-agungkan oleh banyak kalangan muda karena mengapresiasi orang yang sibuk kerja. Sehingga bangga jika ia sibuk dengan kerjaannya, bangga jika dia over work berarti ia akan sukses. 

Nah, Hustle Culture ini diperkuat dan didukung oleh kalangan entrepreneurship terkenal seperti Mark Zuckerberg, Steve Jobs, Gary Vee, dan Elon Musk.

Elon Musk, sebagai salah satu orang terkaya di dunia, memiliki statement bahwa "Orang yang hanya bekerja 40 jam per minggu, tidak akan bisa mengubah dunia. Jika kita mencintai hal tersebut, maka tidak akan merasa seperti pekerjaan."

Sama halnya dengan Gary Vee, figur entrepreneur dan seorang speaker yang sering memberikan motivasi seperti "Saya terus bekerja keras ketika Anda semua tidur".

Pengagungan ini menyebabkan banyak orang yang merasa bahwa Hustle Culture adalah suatu hal yang baik, padahal di samping itu ia menjadi tidak punya waktu untuk mengeksplorasi hobinya, berkumpul bersama keluarga dan teman, apalagi liburan.

Fenomena Hustle Culture mengakibatkan banyak kasus kematian, seperti di Jepang.

Jepang merupakan negara yang dikenal dengan masyarakatnya yang gila kerja. Mereka bekerja dengan usaha yang maksimal dan berorientasi sangat jauh ke depan.

Dikutip dari theguardian.com, melaporkan bahwa di Jepang 1 dari 5 karyawan punya risiko meninggal dunia karena terlalu banyak bekerja.

Pada tahun 2013, ada 1 jurnalis bernama Miwa Sado yang meninggal dunia karena gagal jantung yang disebabkan oleh pekerjaan.

Lalu, pada tahun 2015 ada anak muda bernama Matsuri Takasashi yang berusia 24 tahun meninggal karena mengalami stres akibat terlalu lama bekerja. Sebelum meninggal, ia sempat mengunggah di media sosialnya dan mengeluh bahwa ia hanya tidur 10 jam selama satu minggu.

Dan pada tahun 2016 ada 2.000 kasus bunuh diri di Jepang karena stres terkait pekerjaan.

Memang segala sesuatu pasti ada dampak positif dan negatifnya.

Dampak positif dari gaya hidup Hustle Culture ini adalah kita bisa jadi lebih produktif, mengerjakan pekerjaan tepat waktu (sesuai deadline), dan lebih termotivasi untuk mengejar mimpi.

Namun, nampaknya dampak negatif yang diperoleh jauh lebih banyak daripada dampak positifnya. Seperti pada contoh kasus yang telah terjadi di Jepang.

Perlu diketahui, mengabadikan seluruh waktu untuk bekerja bisa sangat berbahaya. Karena gaya hidup kita menjadi tidak sehat dan memberi pengaruh buruk bagi kesehatan tubuh. 

Ia bisa berisiko terkena penyakit hipertensi, sakit jantung, diabetes, tidur jadi tidak tenang dan terganggu, anxiety (cemas), burn out (kelelahan emosional,fisik, dan mental akibat stres), bahkan sampai depresi. 

Selain penyakit yang berisiko, gaya hidup Hustle Culture juga dapat mengurangi waktu berkumpul bersama keluarga dan teman. Akibatnya hidup menjadi tidak menyenangkan dan tidak seimbang (balance).

Jadi pada intinya, bukan berarti kerja keras dan menjadi produktif itu salah guna mempertahankan hidup. Kita hanya perlu untuk memutar otak akan hal itu dengan menikmati segala prosesnya, tidak memforsir diri, mensyukuri atas apa yang telah kita lakukan, dan memberi reward pada diri sendiri atas apa yang telah dilakukan. 

Hal ini dilakukan supaya tubuh kita tetap sehat, kreatifitas lebih terpacu, dan terhindar dari jebakan kebosanan rutinitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun