Pengalaman pastoral Leo XIV di Peru dan posisinya di Vatikan menunjukkan bahwa ia memiliki pandangan global serta kepekaan terhadap komunitas yang terlupakan. Ia mewakili semangat Gereja yang "keluar," seperti yang sering dikatakan Paus Fransiskus---Gereja yang hadir di tengah-tengah umat, terutama mereka yang miskin dan terpinggirkan.
Gaya Kepemimpinan dan Fokus Pelayanan
Dikenal sebagai pribadi yang tenang dan tidak suka pusat perhatian, Paus Leo XIV membawa gaya kepemimpinan yang penuh pemikiran namun tegas. Ia mengusung nilai-nilai solidaritas, dialog antariman, dan keadilan sosial. Dalam pidato perdananya sebagai Paus, ia menekankan pentingnya membangun Gereja yang mendengarkan, berjalan bersama umat, dan tidak terjebak dalam birokrasi kekuasaan.
Leo XIV juga diharapkan melanjutkan reformasi yang dimulai Paus Fransiskus: keterbukaan dalam administrasi Gereja, penanganan serius terhadap kasus pelecehan seksual, memperkuat peran perempuan, dan keterlibatan kaum awam dalam pengambilan keputusan pastoral.
Mengapa Nama "Leo"? Simbol dan Harapan
Pemilihan nama "Leo" bukanlah pilihan yang remeh. Dalam sejarah kepausan, nama ini telah dipakai oleh 13 Paus sebelumnya. Dua di antaranya sangat berpengaruh:
- Paus Leo I (440--461): dikenal sebagai Leo Agung, adalah tokoh teologi besar dan diplomat handal yang berhasil menghentikan serangan Atilla si Hun ke Roma.
- Paus Leo XIII (1878--1903): terkenal dengan surat ensiklik Rerum Novarum yang memperjuangkan hak-hak pekerja dan memulai keterlibatan sosial Gereja secara teratur.
Dengan memilih nama Leo XIV, Paus baru tampaknya ingin menggabungkan kekuatan iman yang benar, ketegasan moral, dan dukungan sosial. Nama ini juga menjadi tanda bahwa ia ingin membawa Gereja Katolik ke langkah yang lebih berani dalam menghadapi masalah global seperti kemiskinan, krisis iklim, dan dehumanisasi digital.
Menuju Arah Baru Gereja Global
Terpilihnya Paus Leo XIV menjadi harapan baru bagi Gereja Katolik di tengah zaman yang penuh tantangan. Dunia sedang menghadapi pemecahan, perang, perubahan iklim, dan gangguan digital yang menimbulkan rasa keterasingan spiritual. Di tengah semua ini, umat Katolik dan masyarakat luas mengharapkan suara moral yang jelas, bijak, dan nyata.