"Aku sayang sama ayah, tapi kecewa karena cerita ibu." Atau sebaliknya.
Beberapa anak tumbuh dewasa sebelum waktunya, menjadi tempat peredam emosi bagi orang tuanya dan menjadi tempat curhat untuk mereka.  Tidak ada yang salah berbagi cerita dengan anak namun perlu dipilah mana yang sepantasnya orang tua ceritakan ke anak. Beberapa anak tumbuh dari cerita masa lalu orang tua mereka atau bahkan menjadi tempat curhat konflik rumah tangga. Tanpa anak sadari mereka memainkan peran yang buka untuknya, anak dipaksa untuk menjadi teman curhat, peredam emosi, bahkan penyeimbnag suasana hati orang tua. Tampak luar mereka mengira anak dan orang tua sangat dekat, tampak hangat. Tapi justru membuat anak tersangkut di pusaran luka orang tua yang tidak mereka ciptakan. Dampaknya anak tumbuh menjadi orang yang lebih peka, pandai membaca kondisi, mampu menempatkan diri kapan harus berekspresi kapan harus diam. Mereka menjadi dewasa  bukan karena matang tapi karena terpaksa tidak ada pilihan lain.  Kondisi ini masuk ke posisi parentification anak dipaksa dewasa sebelum waktunya. Mereka menjadi ruang terapis bagi orang tuanya, mengorbankan kebutuhan emosionalnya merasa harus menjadi penengah, mengambil beban yang bukan miliknya.
Semakin bertambah umur, anak merasa lelah akan perasaan itu, ada rasa hampa yang tidak bisa mereka uraikan dan  bingung mengekspresikan amarahnya. Semakin lama mereka mulai sadar untuk menjauh, bukan karena membenci namun ingin hidup lebih tenang tanpa terbebani cerita-cerita mereka yang tak pernah usai. Namun ungkapan-ungkapan " kalo enggak sama kamu mama mau cerita kesiapa" " cuman kakak yang ngertiin papa" membuat anak merasa terikat sehingga akhirnya  membuat mereka merasa khawatir untuk menjauh, takut dicap durhaka, dan takut mengecewakan. Anak tumbuh menjadi penopang, bukan untuk ditopang, tumbuh menjadi pemberi bukan penerima efeknya anak menjadi kesulitan meminta tolong, takut membebani orang lain padahal mereka sendirilah yang terbebani. Mereka punya empati yang besar, tapi lupa bahwa mereka juga butuh dipeluk.
Dampaknya mereka :
1. Â Mudah cemas dan depresi
2.  Kesulitan dalam menetapkan  batasan: mereka merasa bersalah jika tidak mendengarkan karena yang tertanam di kepala, harga diri hanya ada saat mereka dibutuhkan dan berguna.
3. Â Trauma relasi dan sulit percaya pasangan di masa depan
4. Â Perasaan tidak dihargai atau tidak mendapatkan dukungan, padahal mereka memikul peran emosional yang besar.
Perlakuan seperti bisa terjadi kepada anak karena orang tua yang tidak memiliki support system yang sehat, merasa anak dekat dengan mereka dan bisa dipercaya, dan lupa kalau anak belum punya kapasitas memproses masalah orang dewasa. Hal ini bisa saja terjadi karena orang tua yang dulu tidak pernah diajarkan cara mencintai dengan sehat. Solusinya coba cari support system lain, misal teman sebaya, saudara dekatnya, ataupun mentor, jaga komunikasi sehat didepan anak, tunjukan solusi bukan hanya keluhan.
Anak berhak tumbuh sehat secara emosional, lindungi mereka dari keluhan konflik. Biarkan mereka jadi anak bukan korban. Ingat! Anak bukan problem solver, anak bukan teman curhat konflik pernikahan. Anak butuh rasa aman, bukan drama rumah tangga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI