Mohon tunggu...
siti maisaroh
siti maisaroh Mohon Tunggu... Mahasiswa

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Tragedi Alvi Maulana dan Krisis Kemanusiaan di Indonesia

5 Oktober 2025   15:55 Diperbarui: 5 Oktober 2025   16:05 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Kasus pembunuhan dan mutilasi yang di lakukan oleh Alvi Maulana terhadap kekasihnya, Tiara Angelina Saraswati, mengguncang publik Indonesia. Peristiwa ini terjadi pada minggu dini hari, 31 Agustus 2025, di sebuah kamar kos tepatnya di Surabaya. Setelah cekcok hebat lantaran tidak dibukakan kunci pintu kos, Alvi menikam leher korban dengan pisau dapur hingga tewas, lalu setelah itu ia memutilasi tubuh korban hingga menjadi ratusan bagian. Potongan tubuh korban ditemukan tersebar di Mojokerto dan disembunyikan di kamar kos.

Motif pembunuhan ini diduga berasal dari konflik asmara yang berkepanjangan, tekanan ekonomi, dan rasa sakit hati yang mendalam. Hubungan mereka yang telah berlangsung lima tahun diwarnai dengan tuntutan gaya hidup dan pertengkaran yang berulang. Menurut Kapolres Mojokerto, pelaku mengalami tekanan psikologis yang memicu tindakan keji tersebut.

Tindakan Alvi ini tidak hanya menghilangkan nyawa sesorang, tetapi juga menunjukkan hilangnya sisi kemanusiaan. Ia memisahkan daging dan tulang korban, menyembunyikan kepala di balik lemari, dan membuang potongan tubuh ke jurang dan semak-semak. Tindakan ini menunjukkn adanya dehumanisasi, yaitu penghapusan nilai moral dan empati demi menghilangkan barang bukti.

Kasus ini disebut sebagai salah satu pembunuhan paling keji di Indonesia dalam dekade terakhir. Media nasional dan masyarakat luas mengecam keras tindakan Alvi, menuntut hukuman maksimal berupa pidana mati atau penjara seumur hidup. Tragedi ini membuka kembali perdebatan tentang kondisi mental pelaku kejahatan dan lemahnya sistem deteksi dini terhadap potensi kekerasan dalam hubungan.

Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, kasus seperti ini seharusnya tidak terjadi. Hubungan asmara yang sehat mestinya dibangun atas dasar komunikasi, saling menghargai, dan kemampuan menyelesaikan konflik secara dewasa. Ketika tekanan ekonomi dan emosi tidak dikelola dengan baik, potensi kekerasan meningkat drastis.

Pendidikan emosional dan mental harus menjadi bagian dari pembinaan generasi muda. Banyak pasangan muda yang hidup bersama tanpa kesiapan mental dan finansial, sehingga konflik mudah meledak. Negara dan institusi pendidikan seharusnya lebih aktif dalam memberikan edukasi tentang kesehatan mental, manajemen konflik, dan etika dalam hubungan.

Selain itu, masyarakat perlu lebih peka terhadap tanda-tanda kekerasan dalam hubungan. Tetangga, teman, dan keluarga harus berani bertindak jika melihat gejala hubungan yang tidak sehat. Budaya "tidak mau ikut campur" sering kali membuat korban kekerasan tidak mendapatkan perlindungan yang layak.

Media juga memiliki peran yang penting dalam membentuk kesadaran publik. Alih-alih hanya mengeksploitasi sisi sensasional dari kasus ini, media seharusnya mengangkat diskusi tentang pencegahan kekerasan, pentingnya kesehatan mental, dan reformasi sistem hukum. Opini publik yang teredukasi akan mendorong perubahan kebijakan yang lebih manusiawi.

Terkait praktik living together tanpa ikatan hukum atau pernikahan perlu dikritisi secara serius. Hubungan tanpa status yang sah rentan terhadap konflik, kekerasan, dan eksploitasi emosional maupun seksual. Negara dan masyarakat harus mendorong norma yang menjamin perlindungan hukum bagi pasangan, terutama perempuan, agar tidak terjebak dalam relasi yang tidak sehat dan tidak aman. Komitmen yang sah adalah fondasi penting dalam membentuk hubungan yang bertanggung jawab dan bermanfaat.

Pemerintah juga perlu memperkuat layanan konseling dan kesehatan mental yang mudah diakses oleh masyarakat. Layanan ini harus tersedia di sekolah, kampus, dan lingkungan kerja, serta didukung oleh tenaga profesional yang kompeten. Deteksi dini terhadap potensi kekerasan bisa menyelamatkan banyak nyawa.

Edukasi tentang hubungan sehat dan manajemen emosi harus dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Generasi muda perlu dibekali dengan kemampuan menyelesaikan konflik, memahami batasan dalam hubungan, dan mengenali tanda-tanda kekerasan. Pendidikan bukan hanya soal akademik, tetapi juga pembentukan karakter dan empati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun