Fenomena "pergundikan" ini lazim di kalangan priyayi pada masanya. Bendoro selaku wajah dari priyayi mengambil perempuan pelosok untuk diajari berbagai kebisaan "menyenangkan suami" dan "mengurus rumah tangga". Tentu saja perempuan itu tak akan selamanya menjadi pendamping sang priyayi. Kelak, Bendoro atau kalangan priyayi beristrikan perempuan yang sederajat dengannya.
Pram menuliskan perbedaan kelas dalam novel ini secara lugas dan tajam. Sangat mudah memahami ketimpangan kelas dalam masyarakat feodal Jawa. Perempuan seolah tak berharga kecuali bersuamikan orang berpangkat. Dalam konteks Gadis Pantai, ia memang tampak "diangkat derajatnya" oleh Bendoro. Namun, di akhir kisah, ia tetap saja dicampakkan karena bukan berasal dari kalangan priyayi/bangsawan.
Pram menuliskan perbedaan kelas dalam novel ini secara lugas dan tajam. Sangat mudah memahami ketimpangan kelas dalam masyarakat feodal Jawa. Perempuan seolah tak berharga kecuali bersuamikan orang berpangkat.
Jelas sekali di sini bahwa feodalisme membiarkan penindasan atas perempuan terjadi. Novel Gadis Pantai seakan cermin waktu yang memberi gambaran sejarah yang pahit, namun tak terelakkan.
***
Akhir kata, penjelajahan terhadap karya-karya Pram lainnya berlanjut jadi hobi membaca. Ada sensasi getir, mual, bahkan marah ketika membaca sederet perlakuan "patriarkis" penguasa pada perempuan di masa feodal. Meskipun gelombang penindasan atas hak-hak perempuan belum surut hingga saat ini, paling tidak, era keterbukaan dan teknologi memudahkan perempuan bertumbuh serta mengambil peran dalam menyambut zaman pembaruan. Tabik!
Terima kasih sudah membaca sampai akhir. Penulis dapat diikuti di instagram @sitikus.nl :)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI