Mohon tunggu...
Siti Khusnul Khotimah
Siti Khusnul Khotimah Mohon Tunggu... Penulis

Best Article Blog Competition by Mettasik 2022 | Konten PV Tertinggi KlasMiting 2022 | Penulis buku A Good Change (2023). Berbagi seputar pengembangan diri, pola pikir bertumbuh, dan insights dari buku. Temukan saya di media sosial @sitikus.nl ✨

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

100 Tahun Pram: Kritik Sosial dalam Balutan Budaya

6 Februari 2025   14:13 Diperbarui: 6 Februari 2025   14:13 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pramoedya Ananta Toer | ilustrasi oleh Indonesia Kaya

Untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak.

Kehidupan baru si Gadis Pantai teramat menyiksa fisik dan mentalnya. Sehari-hari ia berpakaian bagus, makan cukup, namun hatinya terasa hampa. Buat apa semua kekayaan Bendoro, jika tak ada cinta dalam perkawinannya? Lagi pula, si Gadis Pantai harus sadar diri. Ia hanya dijadikan "percobaan" sebelum suaminya menikah dengan perempuan lain yang statusnya "setara".

Sehari-hari ia berpakaian bagus, makan cukup, namun hatinya terasa hampa. Buat apa semua kekayaan Bendoro, jika tak ada cinta dalam perkawinannya?

Apa mau dikata, meski si Gadis Pantai menderita, keluarganya di kampung nelayan menganggap putrinya mendapat keistimewaan menjadi seorang "Bendoro Putri". Walau pernikahan itu tak berlangsung lama, sebab si Gadis Pantai dicampakkan begitu saja oleh Bendoro setelah melahirkan anak perempuannya. Sayang sekali, novel ini berakhir menggantung sebab kelanjutan kisahnya sudah dimusnahkan di zaman orde baru.

Kritik Sosial

Membaca novel Gadis Pantai di usia yang hampir berdekatan dengan tokoh utama membuat gaya bahasa dalam novel ini mudah dicerna. Sekalipun agak kecewa karena novel ini tampak "belum selesai". Namun, esensi berupa "kritik sosial" dan "norma masyarakat" tersampaikan dengan baik melalui penggambaran setiap tokohnya.

Hal ini seolah membenarkan upaya Bendoro dalam mengawini si Gadis Pantai, merenggut kegadisan dan menukarnya dengan predikat "kemuliaan".

Semakin mendalami kisah si Gadis Pantai, tentu saya terperangah dengan cara masyarakat memperlakukan "perempuan" pada zamannya. Hal ini seolah membenarkan upaya Bendoro dalam mengawini si Gadis Pantai, merenggut kegadisan dan menukarnya dengan predikat "kemuliaan". Terbukti, masyarakat kampung nelayan mengamini norma tersebut seakan semuanya sudah pada tempatnya.

Apabila kita menelisik lebih dalam, lebih jauh lagi memahami kehidupan remaja si Gadis Pantai, tentu tak akan sulit bersimpati pada nasibnya. Ia justru tak suka hidup dalam kerangkeng emas sang Bendoro. Baginya, kehidupan menjadi anak nelayan adalah hidup yang sebenarnya. Hidup yang bermakna.

Tugas pelayan itu ialah menyiapkan si Gadis Pantai agar bisa melayani kebutuhan Bendoro layaknya suami-istri. Tentu, si Gadis Pantai perlu waktu untuk bisa memahami situasi dan hidupnya setelah menjadi "gundik" Bendoro.

Dalam novel tersebut dikisahkan si Gadis Pantai ditemani oleh seorang pelayan perempuan yang sudah berumur. Tugas pelayan itu ialah menyiapkan si Gadis Pantai agar bisa melayani kebutuhan Bendoro layaknya suami-istri. Tentu, si Gadis Pantai perlu waktu untuk bisa memahami situasi dan hidupnya setelah menjadi "gundik" Bendoro. Tak heran, bila akhirnya perempuan itu terluka setelah sang Bendoro mengambil anak dan merenggut kehidupan remajanya.

Kultur Feodal

Tentu saja perempuan itu tak akan selamanya menjadi pendamping sang priyayi. Kelak, Bendoro atau kalangan priyayi beristrikan perempuan yang sederajat dengannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun