oleh: @sitikus.nl
Bila mendengar nama "PRAM" disebut, rasanya seluruh memori kembali pada ingatan tahun 2016 lalu. Saat itu, saya baru menyelesaikan Ujian Nasional tingkat SMA. Masih banyak waktu tersisa sebelum mendaftar kuliah ke kampus impian. Tidak seperti teman-teman seangkatan yang sibuk merayakan "kelulusan" dengan coret-coret atau menginap bersama di vila.Â
Sehabis UN, saya justru menyibukkan diri dengan setumpuk buku bacaan yang berhasil diselamatkan dari pasar loak. Ya, saat itu beli buku adalah privilese yang harus diupayakan dengan menabung. Itu pun hanya bisa membeli buku bekas di pasar loak belakang Terminal Baranangsiang. Tumpukan buku-buku yang sudah menguning dengan aroma lembap memenuhi indera penciuman saat memasuki toko itu.
Sehabis UN, saya justru menyibukkan diri dengan setumpuk buku bacaan yang berhasil diselamatkan dari pasar loak. Ya, saat itu beli buku adalah privilese yang harus diupayakan dengan menabung.
Saya bahagia bukan kepalang! Rasanya seperti sedang bermain "berburu harta karun". Di toko inilah, saya menemukan buku-buku Pramoedya Ananta Toer.
Genap 100 tahun Pram hidup dalam benak setiap pembacanya. Karya-karya besar dilahirkan justru bukan dalam kenyamanan ruang ber-AC dan akses WiFi unlimited. Pram menuliskan kritik sosial yang sarat makna dalam kalimat sastrawi yang tajam. Konteks budaya turut melingkupi segenap kisah-kisah orang marjinal yang tertindas oleh penguasa. Membaca Pram, bagi saya serupa dengan menengok kembali adegan bersejarah yang luput dari pemberitaan.
Genap 100 tahun Pram hidup dalam benak setiap pembacanya. Karya-karya besar dilahirkan justru bukan dalam kenyamanan ruang ber-AC dan akses WiFi unlimited.
Kali ini, dalam harlah yang ke-100, saya akan mengulas Gadis Pantai sebagai buku pertama dimana saya mengenal sosok Pramoedya Ananta Toer.
Gadis Pantai
Hidup sang Gadis menderita sejak ia dinikahkan oleh Bendoro (penguasa setempat) dan hidup dalam kurungan sangkar emas.
Pertama kali mengenal Pramoedya Ananta Toer, saya langsung jatuh cinta pada Gadis Pantai. Usia saya saat membaca novel itu kira-kira 18 tahun, hampir sama dengan usia si Gadis Pantai yang jadi tokoh utama. Penderitaan hidup si Gadis Pantai bukan karena ia seorang anak nelayan yang tinggal di perkampungan miskin di pesisir. Hidup sang Gadis menderita sejak ia dinikahkan oleh Bendoro (penguasa setempat) dan hidup dalam kurungan sangkar emas.
Betapa tidak, hidup si Gadis Pantai berubah 180 derajat setelah pernikahan dengan pembesar yang kaya raya. Belakangan, si Gadis Pantai tahu, pernikahannya itu adalah tebusan utang yang tak sanggup dibayarkan oleh keluarganya. Mau tak mau, sang Gadis merelakan masa remajanya untuk melayani kebutuhan sang Bendoro, termasuk kebutuhan seksual.