Arin membeku. Gadis di bawah ranjang itu masih menatapnya dengan mata kosong. Bibirnya pecah-pecah, wajahnya pucat kehijauan, dan napasnya... tak terdengar.
"Pergi..." suara itu seperti desir angin yang memaksa masuk ke telinga Arin.
Lampu kamar berkedip cepat, lalu padam total.
Arin bangkit, menjatuhkan kursi saat melangkah mundur. Tangannya meraba-raba tembok mencari saklar. Tapi yang disentuhnya justru... kulit dingin.
Seseorang---atau sesuatu---berdiri di belakangnya.
Arin menjerit dan menoleh cepat. Tak ada siapa-siapa.
Lampu tiba-tiba menyala kembali, tapi kamar itu tak sama. Cermin di lemari kini retak. Di tengah retakan itu tertulis:
"Kau sudah melihat. Kau tak bisa pergi."
Arin berlari ke pintu, memutar knop. Terkunci. Ia menendang, memukul, memanggil. Tak ada jawaban. Pintu itu seolah tak pernah punya kunci keluar.
Tiba-tiba, suara tangisan lirih terdengar dari kolong ranjang. Tangisan yang berubah menjadi tawa melengking.